Revisi UU TNI: Ancaman Kembalinya Supremasi Militer dan Pengkhianatan terhadap Reformasi

Revisi UU TNI: Ancaman Kembalinya Supremasi Militer dan Pengkhianatan terhadap Reformasi

Direktur Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid, menyampaikan keprihatinannya yang mendalam terkait revisi Undang-Undang (RUU) TNI yang tengah dibahas DPR. Ia mengingatkan bahwa revisi tersebut berpotensi besar untuk mengulang kesalahan masa lalu, yaitu dominasi militer dalam kehidupan sipil, sebuah kondisi yang telah diperjuangkan selama 32 tahun untuk dihapuskan pasca-jatuhnya rezim Orde Baru. Perjuangan panjang untuk menegakkan supremasi sipil dan hukum, bukan supremasi senjata, kini terancam oleh perluasan penempatan jabatan sipil bagi TNI aktif dalam RUU tersebut.

Alissa Wahid, dalam jumpa pers di STF Driyarkara, Jakarta, Selasa (18/3/2025), menekankan bahwa revisi UU TNI seharusnya berfokus pada peningkatan profesionalisme TNI, bukan pada perluasan pengaruh militer di sektor sipil. Ia melihat adanya potensi kembalinya peran dwifungsi ABRI, meskipun dengan nama yang berbeda. Esensi dari masalah ini, tegas Alissa, tetap sama: penggunaan senjata dan kekuasaan militer di ranah sipil. Hal ini, menurutnya, sangat berbahaya bagi masa depan demokrasi Indonesia dan dapat mengancam hak-hak sipil masyarakat.

Perluasan penempatan jabatan sipil bagi TNI aktif menimbulkan kekhawatiran yang serius. Alissa menjelaskan beberapa poin krusial:

  • Jalur Koordinasi dan Komando: Tentara aktif yang menduduki jabatan sipil tetap memiliki jalur koordinasi dan komando dengan angkatan bersenjata. Hal ini menciptakan potensi konflik kepentingan dan bahkan potensi penyalahgunaan kekuasaan jika terdapat ketidaksesuaian antara kehendak rakyat dan penguasa.
  • Legalisasi Intervensi Militer: Kehadiran tentara aktif dalam jabatan sipil akan melegitimasi intervensi militer dalam urusan sipil, terutama dalam proyek-proyek strategis nasional. Pengalaman Jaringan Gusdurian dalam mendampingi warga yang terdampak proyek-proyek tersebut menunjukkan betapa rentannya masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh mereka yang memegang senjata.

RUU TNI yang disepakati Komisi I DPR RI dan Pemerintah untuk dibawa ke rapat paripurna mencakup beberapa perubahan signifikan, antara lain:

  • Perpanjangan Masa Dinas: Penambahan usia pensiun bagi bintara dan tamtama hingga 58 tahun, perwira hingga 60 tahun, dan kemungkinan hingga 65 tahun untuk jabatan fungsional.
  • Peluasan Penempatan di Kementerian/Lembaga: Aturan ini akan semakin memperluas kehadiran TNI aktif di berbagai kementerian dan lembaga, merespon peningkatan kebutuhan akan penempatan prajurit TNI di sektor sipil.

Alissa Wahid dengan tegas menyerukan agar DPR dan Pemerintah mempertimbangkan kembali pasal-pasal dalam RUU TNI yang berpotensi memunculkan supremasi militer. Ia mendesak agar revisi UU TNI diarahkan untuk memperkuat profesionalisme TNI dan menjaga supremasi sipil yang telah susah payah diperjuangkan selama bertahun-tahun. Pengabaian terhadap hal ini, menurutnya, akan menjadi pengkhianatan terhadap semangat reformasi dan perjuangan panjang masyarakat Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang berkelanjutan.