Tuntutan Bebas Susanti: Keluarga Miskin Karawang Berharap Uluran Tangan Pemerintah di Tengah Ancaman Hukuman Mati di Arab Saudi

Tuntutan Bebas Susanti: Keluarga Miskin Karawang Berharap Uluran Tangan Pemerintah di Tengah Ancaman Hukuman Mati di Arab Saudi

Di sebuah rumah sederhana di Desa Cikarang, Kecamatan Cilamaya Wetan, Kabupaten Karawang, Mahfudin, seorang ayah, terlihat tenggelam dalam keputusasaan. Ia tengah berjuang menyelamatkan putrinya, Susanti, dari ancaman hukuman mati di Arab Saudi. Kisah pilu ini bermula pada tahun 2009, ketika Susanti, yang masih berusia 16 tahun, berangkat ke Arab Saudi dengan harapan dapat meringankan beban ekonomi keluarganya. Namun, harapan tersebut sirna setelah Susanti dituduh membunuh anak majikannya dan divonis hukuman mati pada tahun 2011. Hukuman tersebut kini menghantui keluarga kecil ini, yang terpaksa menyaksikan putri mereka terkurung di sel Kepolisian Dawadimi, Riyadh, selama lebih dari satu dekade.

Mahfudin dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Ia menunjukkan foto Susanti sembari menyatakan keyakinannya bahwa putrinya tidak bersalah. Lebih mengejutkan lagi, ia mengklaim bahwa pemerintah Arab Saudi sendiri menyatakan bahwa pembunuhan tersebut tidak dilakukan oleh Susanti. Namun, proses hukum yang telah berjalan bertahun-tahun telah menetapkan vonis mati, dan keluarga dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Keluarga majikan menuntut pembayaran denda fantastis sebesar Rp 120 miliar sebagai syarat pembebasan Susanti. Jumlah tersebut tampak mustahil bagi keluarga Mahfudin yang sederhana. Harapan terakhir mereka kini tertuju pada Pemerintah Indonesia untuk menyelamatkan nyawa Susanti dan membawanya pulang ke tanah air.

Di tengah keputusasaan yang mendalam, upaya untuk membebaskan Susanti telah mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Kepala Desa Cikarang, Farihin, telah mengajukan permohonan bantuan kepada Pemerintah Kabupaten Karawang dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Namun, prosesnya tampak lamban dan penuh ketidakpastian. “Kami belum tahu pasti untuk keputusannya. Sebelumnya ada proses banding, tiba-tiba ada informasi dihukum mati,” ungkap Farihin, menggambarkan kebingungan dan ketidakjelasan yang dihadapi. Sementara itu, Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, menjelaskan bahwa pembebasan Susanti membutuhkan dana minimal Rp 40 miliar, setelah negosiasi dengan pihak Arab Saudi melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Anggaran sebesar itu jauh melebihi kemampuan keluarga Mahfudin, dan keterbatasan anggaran pemerintah semakin memperberat situasi.

Kasus Susanti menjadi sorotan dan mengungkap tantangan nyata yang dihadapi oleh para pekerja migran Indonesia di luar negeri. Ia mengungkap kerentanan dan ketidakberdayaan yang dihadapi oleh warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, serta perlunya peningkatan perlindungan dan dukungan dari pemerintah untuk mencegah terjadinya kasus-kasus sejenis di masa mendatang. Kisah Susanti juga menjadi pengingat pentingnya upaya diplomasi yang kuat dan efektif dari pemerintah untuk melindungi warga negaranya di mancanegara. Nasib Susanti kini bergantung pada perjuangan keluarganya dan besarnya dukungan yang dapat dihimpun dari berbagai pihak, termasuk pemerintah Indonesia, untuk menghindari ancaman hukuman mati yang mengancam hidupnya.