Vonis Bebas Oknum Polisi Terdakwa Pencabulan Anak di Keerom Picu Kecaman dan Langkah Hukum
Vonis Bebas Oknum Polisi Terdakwa Pencabulan Anak di Keerom Picu Kecaman dan Langkah Hukum
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Kelas IA Jayapura yang membebaskan oknum anggota kepolisian berinisial AF (20) dari dakwaan pencabulan terhadap anak berusia 5 tahun di Keerom, Papua, telah menuai kecaman luas. Vonis bebas yang dijatuhkan pada 20 Januari 2025 terhadap terdakwa yang bertugas di Polres Keerom ini dinilai mengabaikan fakta persidangan dan hak-hak korban, memicu gelombang protes dari berbagai pihak, termasuk Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Papua dan kuasa hukum korban.
Direktur LBH APIK Jayapura, Nur Aida Duwila, menyatakan keprihatinan mendalam atas putusan tersebut. Menurutnya, putusan ini mencerminkan lemahnya penegakan hukum dan hilangnya pemenuhan hak keadilan bagi anak korban kekerasan seksual. Meskipun LBH APIK Jayapura tidak memberikan pendampingan hukum langsung kepada korban, Nur Aida menekankan pentingnya pengajuan kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) serta pelaporan hakim yang terlibat kepada Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (MA). Hal ini penting dilakukan untuk memastikan terpenuhinya keadilan bagi korban dan mencegah terjadinya impunitas.
Kuasa hukum korban, Dede Gustiawan Pagundun, didampingi La Ode Muktati, mengungkapkan kekecewaan mendalam atas putusan yang tidak sejalan dengan tuntutan JPU sebesar 12 tahun penjara berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Mereka menilai putusan hakim mengabaikan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan tercela terhadap anak di bawah umur. Kekecewaan ini diperparah oleh fakta bahwa terdakwa merupakan seorang aparat penegak hukum yang seharusnya melindungi, bukan malah mencederai, masyarakat, terutama anak-anak yang merupakan kelompok paling rentan terhadap kejahatan seksual.
Sebagai langkah selanjutnya, kuasa hukum korban menyatakan akan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung dan melaporkan hakim yang menangani perkara tersebut kepada Komisi Yudisial. Langkah ini ditempuh untuk meminta peninjauan kembali putusan dan memastikan ditegakkannya hukum yang adil dan berpihak kepada korban. Mereka juga mendesak Kejaksaan dan Komisi Yudisial untuk turut meninjau kembali putusan kontroversial ini dan memastikan akuntabilitas dalam sistem peradilan.
Hakim Ketua yang memimpin persidangan perkara nomor 329/Pid.Sus/2024.PN Jap adalah Zaka Talpatty, dibantu oleh Hakim Anggota Korneles Waroi dan Ronald Lauterboom. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan terdakwa tidak terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah. Putusan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang standar pembuktian dan pertimbangan hukum yang digunakan dalam proses peradilan tersebut. Kasus ini menjadi sorotan dan menimbulkan kekhawatiran akan melemahnya perlindungan anak dari kekerasan seksual di Papua.
- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jayapura yang menangani perkara ini terdiri dari:
- Hakim Ketua: Zaka Talpatty
- Hakim Anggota: Korneles Waroi
- Hakim Anggota: Ronald Lauterboom
Kasus ini menyoroti pentingnya reformasi hukum dan peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual terhadap anak, khususnya dalam memastikan perlindungan maksimal bagi korban dan penegakan hukum yang tegas dan berkeadilan.