RUU TNI Disahkan: Prajurit Aktif Hanya Boleh Bertugas di 14 Lembaga Tertentu, Kewajiban Pensiun Dipertegas

RUU TNI Disahkan, Aturan Penugasan Prajurit Diperjelas

Setelah melalui proses pembahasan yang intensif, Komisi I DPR RI bersama pemerintah telah resmi menyetujui dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Pengesahan tersebut terjadi dalam rapat paripurna setelah melewati pembicaraan tingkat I yang melibatkan delapan fraksi di DPR RI, yakni PDIP, Golkar, Gerindra, NasDem, PKB, PKS, PAN, dan Demokrat. Kesepakatan bulat tersebut menandai babak baru dalam regulasi penugasan prajurit TNI di instansi pemerintah.

Salah satu poin penting dalam RUU yang telah disahkan ini adalah pembatasan penugasan prajurit aktif TNI di luar lingkungan TNI. Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Dave Laksono, menegaskan bahwa prajurit aktif hanya diperbolehkan menduduki jabatan di 14 kementerian atau lembaga yang telah ditentukan dan memiliki keterkaitan langsung dengan sektor pertahanan negara. Bagi prajurit yang menerima penugasan di luar 14 lembaga tersebut, kewajiban untuk pensiun menjadi suatu keharusan. Sikap tegas Mabes TNI terkait hal ini telah disampaikan dan diresmikan melalui RUU yang baru disahkan ini. Hal ini bertujuan untuk menjaga profesionalitas dan netralitas TNI, sekaligus menghindari potensi konflik kepentingan.

Penjelasan Lebih Lanjut Mengenai RUU TNI dan Implikasinya

Revisi UU TNI ini, menurut Dave Laksono, bertujuan untuk memberikan kejelasan posisi TNI dalam struktur pemerintahan. Ia menekankan bahwa revisi ini sama sekali tidak bermaksud untuk mengembalikan sistem dwifungsi ABRI yang telah dihapus. Pernyataan tersebut menjawab berbagai polemik dan kekhawatiran yang muncul di masyarakat. Dave menjelaskan bahwa berbagai isu terkait kembalinya dwifungsi ABRI dan ancaman supremasi sipil adalah tidak berdasar. RUU ini dirancang untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan negara, namun tetap di bawah kendali sipil.

Lebih lanjut, Dave menjelaskan mekanisme peradilan bagi anggota TNI aktif yang bertugas di kementerian atau lembaga apabila melakukan pelanggaran. Ia menekankan bahwa proses hukumnya akan bergantung pada jenis pelanggaran yang dilakukan. Jika pelanggaran yang dilakukan masuk kategori pidana umum, maka proses hukumnya akan mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini akan ditangani oleh lembaga peradilan yang berwenang. Proses peradilan akan dilakukan secara kasus per kasus, mempertimbangkan tingkat pelanggaran dan kewenangan penegak hukum yang terkait.

Proses Pengesahan RUU TNI di DPR

Proses pengesahan RUU ini diawali dengan rapat kerja pembicaraan tingkat I yang dipimpin oleh Ketua Komisi I DPR RI dan Ketua Panja RUU TNI, Utut Adianto. Dalam rapat tersebut, seluruh fraksi di Komisi I DPR RI menyatakan setuju untuk membawa RUU ini ke tingkat II, yaitu rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Persetujuan tersebut ditandai dengan ketukan palu pimpinan sidang, yang menandakan RUU TNI dinyatakan lolos dan siap untuk disahkan.

Dengan disahkannya RUU ini, diharapkan akan tercipta kejelasan dan kepastian hukum dalam penugasan prajurit TNI di instansi pemerintah, sekaligus memperkuat peran TNI dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bawah supremasi sipil. Aturan ini sekaligus menegasikan berbagai spekulasi mengenai potensi kembalinya dwifungsi TNI yang sebelumnya telah dinyatakan sebagai sejarah kelam dalam perjalanan bangsa Indonesia.