DPR Desak Jaminan Perlindungan Maksimal Sebelum Moratorium PMI ke Arab Saudi Dicabut

DPR Desak Jaminan Perlindungan Maksimal Sebelum Moratorium PMI ke Arab Saudi Dicabut

Komisi IX DPR RI akan memanggil Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI), Abdul Kadir Karding, untuk membahas rencana pencabutan moratorium pengiriman Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Arab Saudi. Langkah ini diambil sebagai respon atas persetujuan Presiden Joko Widodo terhadap rencana pencabutan moratorium tersebut, yang disampaikan Menteri Karding pasca pertemuan di Istana Kepresidenan pada Jumat, 14 Maret 2025. Pertemuan dengan Menteri Karding bertujuan untuk memastikan terbangunnya skema perlindungan yang komprehensif bagi PMI sebelum mereka berangkat ke Arab Saudi, mengingat potensi risiko yang dihadapi para pekerja migran di negara tersebut. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Nihayatul Wafiroh, atau yang akrab disapa Ninik, menekankan pentingnya langkah antisipatif ini untuk mencegah terulangnya kasus kekerasan domestik dan permasalahan hukum yang pernah dialami PMI di Arab Saudi.

Ninik menjelaskan beberapa kekhawatiran yang melatarbelakangi desakan Komisi IX. Pertama, Arab Saudi hingga saat ini belum meratifikasi Konvensi Wina tentang Mandatory Consulee Notification (MCN). Hal ini menjadi perhatian serius karena MCN memberikan perlindungan hukum yang lebih luas bagi warga negara asing yang bermasalah dengan hukum di negara tersebut. Kedua, Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK), hasil kerja sama Indonesia dan Arab Saudi, belum berjalan secara optimal. Padahal, platform digital ini diharapkan dapat meningkatkan perlindungan PMI dan mengurangi angka kekerasan yang dialami para pekerja. Ketiga, masih tingginya jumlah PMI yang bekerja secara ilegal di Arab Saudi, meskipun moratorium diberlakukan. Menteri Karding sendiri menyebutkan angka minimal 25.000 PMI masuk ke Arab Saudi secara ilegal setiap tahunnya sejak moratorium diberlakukan.

Komisi IX mendesak pemerintah untuk memastikan perlindungan maksimal bagi PMI di semua tahapan, mulai dari proses perekrutan, pelatihan, penempatan, hingga pengawasan selama bekerja di Arab Saudi. Mereka juga menekankan perlunya peningkatan kerja sama dengan pemerintah Arab Saudi untuk memastikan terpenuhinya hak-hak asasi PMI dan kesetaraan hukum bagi mereka di Arab Saudi. Hal ini meliputi permintaan kepada Arab Saudi untuk meratifikasi Konvensi Wina serta menjamin kesetaraan hukum antara warga negara Arab Saudi dan PMI jika terjadi pelanggaran hukum. Ninik menegaskan bahwa pencabutan moratorium hanya dapat dibenarkan jika disertai dengan regulasi yang ketat dan kerja sama yang kuat antara kedua negara untuk memastikan keselamatan dan kesejahteraan PMI. Jika jaminan perlindungan tersebut tidak terpenuhi, Komisi IX khawatir pencabutan moratorium justru akan membahayakan para pekerja migran Indonesia.

Lebih lanjut, meskipun pemerintah Arab Saudi menjanjikan akan menyerap 600.000 pekerja migran Indonesia (terdiri dari 400.000 pekerja domestik dan 200.000-250.000 pekerja formal), Komisi IX DPR RI tetap mendesak agar pemerintah Indonesia memastikan setiap detail perlindungan PMI terpenuhi. Keberhasilan pencabutan moratorium ini sangat bergantung pada kesiapan dan komitmen pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan maksimal kepada para PMI di Arab Saudi. Hal ini menjadi kunci agar pencabutan moratorium tidak berdampak negatif bagi para pekerja migran dan citra Indonesia di mata dunia.

Poin-poin penting yang ditekankan Komisi IX:

  • Ratifikasi Konvensi Wina tentang MCN oleh Arab Saudi.
  • Optimalisasi Sistem Penempatan Satu Kanal (SPSK).
  • Pengurangan jumlah PMI yang bekerja secara ilegal di Arab Saudi.
  • Perlindungan maksimal bagi PMI di semua tahapan penempatan.
  • Peningkatan kerja sama dengan pemerintah Arab Saudi.
  • Regulasi yang ketat terkait penempatan PMI.
  • Kesepakatan kesetaraan hukum antara PMI dan warga negara Arab Saudi.