Regulasi Kemendag Terkait Konten Ulasan Makanan oleh Vlogger: Mengurai Kasus Clairmont dan Codeblu
Regulasi Kemendag Terkait Konten Ulasan Makanan oleh Vlogger: Mengurai Kasus Clairmont dan Codeblu
Perseteruan antara perusahaan kue Clairmont dan food vlogger Codeblu menyoroti perlunya regulasi yang jelas terkait konten ulasan makanan di dunia digital. Clairmont telah melaporkan Codeblu ke pihak berwajib atas dugaan pelanggaran UU ITE menyusul ulasan negatif yang berdampak pada kerugian materiil sebesar Rp 5 miliar. Langkah hukum ini pun membuka diskusi mengenai perlindungan pelaku usaha dan hak konsumen dalam konteks review produk makanan online.
Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Kemendag), Moga Simatupang, memberikan penjelasan mengenai landasan hukum yang berlaku. Beliau menjelaskan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), baik penjual makanan maupun vlogger yang mengulasnya memiliki kedudukan hukum yang spesifik. Penjual makanan dikategorikan sebagai pelaku usaha, sementara vlogger yang mengkonsumsi dan mereview produk dapat dikategorikan sebagai konsumen. Hal ini menunjukan bahwa terdapat keseimbangan hukum yang melindungi kedua belah pihak.
UUPK mengatur kewajiban konsumen untuk bertindak dengan itikad baik dalam transaksi dan memberikan jalur hukum jika dirugikan. Konsumen, dalam hal ini vlogger, berhak meminta ganti rugi jika menemukan produk yang tidak sesuai janji atau merugikan. Namun, perlindungan hukum ini tidak berlaku mutlak. Jika vlogger menghasilkan keuntungan ekonomi dari konten ulasannya, maka vlogger tersebut juga dikategorikan sebagai pelaku usaha, dan tunduk pada aturan yang sama seperti Clairmont.
Pasal 9 ayat (1) huruf i UUPK secara tegas melarang pelaku usaha, termasuk vlogger yang berstatus pelaku usaha, untuk menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang atau jasa secara tidak benar, atau merendahkan barang atau jasa lain. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana berupa penjara maksimal 5 tahun atau denda Rp 2 miliar. Ini penting untuk dipahami, karena meskipun tujuan vlogger adalah untuk kepentingan konsumen lain, penyebaran informasi yang terbukti merugikan pelaku usaha tetap dapat dijerat hukum.
Kasus Clairmont dan Codeblu bermula dari ulasan negatif Codeblu pada 15 November 2024, yang dipicu oleh informasi dari seorang karyawan Clairmont. Ulasan ini menimbulkan kerugian besar bagi Clairmont, terlepas dari bantahan yang telah disampaikan Clairmont di media sosial pada 17 November 2024. Situasi semakin kompleks dengan unggahan video Codeblu selanjutnya yang menuduh Clairmont memberikan kue nastar berjamur ke panti asuhan pada Januari 2025. Kasus ini menjadi preseden penting dalam menentukan batasan kebebasan berekspresi dan tanggung jawab hukum dalam pembuatan konten ulasan makanan online.
Kemendag menghimbau agar semua pihak, baik pelaku usaha maupun pembuat konten, untuk senantiasa berhati-hati dan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Kejelasan regulasi dan pemahaman terhadap UUPK sangat penting untuk menghindari konflik dan kerugian di masa mendatang. Perkembangan teknologi digital dan pengaruhnya pada bisnis kuliner menuntut adaptasi dan pemahaman yang komprehensif terhadap hukum yang berlaku. Kasus ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijak dalam berinteraksi di dunia digital.
Poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Penjual makanan adalah pelaku usaha berdasarkan UUPK.
- Vlogger yang mereview makanan adalah konsumen, kecuali jika menghasilkan keuntungan ekonomi dari konten tersebut.
- UUPK mengatur kewajiban itikad baik bagi konsumen dan pelaku usaha.
- Pelaku usaha dilarang merendahkan produk lain, dan pelanggaran dapat dikenakan sanksi pidana.
- Kebebasan berekspresi harus diimbangi dengan tanggung jawab hukum.