Kritik Lewat Lagu Berujung Intimidasi: Ironi Komitmen Polri Terhadap Kebebasan Berekspresi
Kritik Lewat Lagu Berujung Intimidasi: Ironi Komitmen Polri Terhadap Kebebasan Berekspresi
Permintaan maaf publik yang dilontarkan oleh grup musik Sukatani beberapa waktu lalu atas lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar", mengungkap paradoks yang mengkhawatirkan dalam tubuh Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Permintaan maaf tersebut, yang dilakukan setelah personel band tersebut dikunjungi oleh Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah pada 20 Februari 2025, menunjukkan adanya potensi intimidasi terhadap bentuk ekspresi kritik terhadap kinerja kepolisian. Klaim Polda Jawa Tengah (21/2) bahwa kunjungan tersebut semata-mata untuk klarifikasi, terkesan tidak meyakinkan mengingat lagu tersebut kemudian ditarik dari platform musik, dan personel band tersebut mengungkapkan permintaan maaf secara terbuka—tindakan yang menunjukkan adanya tekanan signifikan.
Video permintaan maaf yang beredar luas menampilkan mimik wajah personel band yang terlihat tegang, menguatkan dugaan adanya paksaan. Pertanyaannya, mengapa klarifikasi yang seharusnya menjadi proses dialogis justru berujung pada pembungkaman? Lirik lagu "Bayar Bayar Bayar" yang secara gamblang mengkritik praktik koruptif di lapangan seharusnya menjadi bahan introspeksi bagi institusi Polri, bukan menjadi alasan untuk melakukan tindakan represif. Alih-alih dihargai sebagai bentuk partisipasi publik dalam mendorong reformasi kultural Polri, lagu tersebut justru dianggap sebagai ancaman yang memerlukan pembungkaman. Kondisi ini semakin memperkuat anggapan publik yang selama ini mengemuka, yaitu fenomena #noviralnojustice sebagai bentuk ketidakpercayaan terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Kasus ini secara terang-terangan bertentangan dengan komitmen Polri untuk terbuka terhadap kritik yang telah diutarakan sebelumnya.
Ironi ini semakin terasa jika dikaitkan dengan Lomba Bhayangkara Mural Festival tahun 2021. Saat itu, Kapolri secara terbuka menyatakan bahwa muralis yang memberikan kritik tertajam akan menjadi sahabatnya. Namun, perlakuan yang dialami Band Sukatani menunjukkan adanya disparitas antara komitmen di tingkat pusat dan implementasinya di daerah. Ketidakkonsistenan ini mempertanyakan keseriusan Polri dalam mendorong pemajuan demokrasi di Indonesia, khususnya terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat yang merupakan pilar demokrasi. Studi Desain Transformasi Polri (2024) yang dilakukan oleh SETARA Institute menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Sebanyak 51,2% ahli menilai pelaksanaan kepolisian yang demokratis dan humanis berjalan buruk, dengan 80,1% ahli menekankan pentingnya menjunjung tinggi HAM dalam pemolisian demokratis dan humanis. Lebih jauh lagi, 49,7% ahli menilai pengaruh Polri dalam menjaga demokrasi Indonesia berada pada status buruk.
Minimnya pemahaman mengenai perlindungan HAM di lapangan menjadi salah satu penyebab utama perilaku aparat yang represif terhadap kritik. Kasus Band Sukatani menjadi bukti nyata betapa pentingnya evaluasi kinerja dan pengawasan internal di tubuh Polri. Kurangnya punishment atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan anggota di lapangan justru menciptakan siklus setalah yang menghambat reformasi kultural. Lirik lagu "Bayar Bayar Bayar" yang menggambarkan praktik koruptif di lapangan seharusnya menjadi alarm bagi Polri untuk melakukan introspeksi diri dan segera melakukan perubahan menyeluruh. 130 permasalahan yang menghambat reformasi Polri, sebagaimana diidentifikasi SETARA Institute, harus menjadi fokus utama dalam upaya perubahan. Kejadian ini juga menunjukkan adanya kesenjangan antara komitmen Kapolri di tingkat pusat dan realitas di lapangan, mengungkap tantangan besar dalam mewujudkan Polri yang demokratis dan responsif terhadap kritik publik. Perlu langkah konkret dan tegas dari pimpinan Polri untuk memastikan komitmen tersebut diimplementasikan secara konsisten di seluruh tingkatan.