RUU TNI: Polemik Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif dan Ancaman Impunitas
RUU TNI: Polemik Jabatan Sipil bagi Prajurit Aktif dan Ancaman Impunitas
Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang dijadwalkan disahkan pada 20 Maret 2025, telah memicu gelombang penolakan dari berbagai kalangan. Kritikan tajam dilontarkan karena RUU tersebut dinilai berpotensi melanggengkan impunitas TNI, menyerupai praktik yang terjadi pada masa Orde Baru. Pasal 47 RUU TNI yang memperbolehkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 16 instansi pemerintah, termasuk posisi strategis seperti Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Dewan Pertahanan Nasional, dan Kejaksaan Agung, menjadi sorotan utama. Hal ini memicu kekhawatiran atas dominasi militer dalam pemerintahan dan melemahnya kontrol sipil.
Nur Hidayat Sardini, pengamat politik Universitas Diponegoro, menyatakan keprihatinannya terhadap sistem peradilan militer yang selama ini dianggap melindungi TNI dari pertanggungjawaban hukum atas tindakan kriminal yang dilakukan anggotanya. Menurut Sardini, jika TNI ingin terlibat dalam pemerintahan sipil, maka prajurit aktif yang terlibat tindak pidana harus diadili di peradilan sipil, selaras dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan demi tegaknya keadilan bagi korban. Ia menekankan perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum yang melibatkan anggota TNI. Peradilan militer yang tertutup dianggap tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat, dan pengalaman buruk masa lalu semakin memperkuat penolakan terhadap keterlibatan TNI dalam jabatan sipil. Sistem peradilan yang terbuka dan independen menjadi kunci untuk mencegah terulangnya pelanggaran HAM dan memastikan supremasi hukum.
Sardini juga menyoroti pentingnya pemisahan peran TNI sebagai alat pertahanan negara dengan keterlibatannya dalam pemerintahan sipil. Ia berpendapat bahwa koordinasi fungsional antara TNI dan lembaga sipil dapat dilakukan tanpa harus menempatkan prajurit aktif dalam jabatan sipil. Contohnya, Badan Keamanan Laut (Bakamla) dapat berkoordinasi dengan TNI Angkatan Laut tanpa harus dipimpin oleh seorang perwira TNI. Hal ini, menurut Sardini, lebih menekankan pada aspek fungsionalitas kerja, bukan pada struktur organisasi. Penekanan pada koordinasi fungsional dinilai lebih efektif dan sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR Dave Laksono mengungkapkan bahwa RUU TNI akan disahkan dalam rapat paripurna. Proses pembahasan RUU ini mendapat dukungan dari beberapa fraksi di DPR, namun diprotes keras oleh Koalisi Masyarakat Sipil dan Civitas Akademika UGM yang menilai RUU ini berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI dan mengancam kualitas demokrasi. Tiga poin utama yang dibahas dalam revisi RUU TNI adalah kedudukan TNI, batas usia pensiun, dan jabatan sipil bagi prajurit aktif. Penolakan terhadap RUU TNI bukan hanya dari kalangan akademisi, namun juga dari elemen masyarakat sipil yang khawatir dengan implikasi jangka panjang dari revisi tersebut terhadap demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia.
Keberadaan pasal yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil membuat RUU TNI ini menjadi kontroversi. Perdebatan ini menyoroti pentingnya keseimbangan antara peran TNI dalam menjaga keamanan negara dan pentingnya pertanggungjawaban hukum yang transparan dan adil untuk semua warga negara, termasuk anggota TNI. Oleh karena itu, diskusi yang lebih luas dan partisipatif dari berbagai elemen masyarakat sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa revisi RUU TNI ini tidak berpotensi melemahkan demokrasi dan melanggengkan impunitas. Tujuan utama seharusnya adalah melindungi hak asasi manusia dan menegakkan supremasi hukum di Indonesia.