Penemuan Ladang Ganja di Taman Nasional: Kasus Bromo Tengger Semeru dan Preseden Gunung Leuser
Penemuan Ladang Ganja di Taman Nasional: Kasus Bromo Tengger Semeru dan Preseden Gunung Leuser
Baru-baru ini, penemuan ladang ganja seluas 0,6 hektar di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), Jawa Timur, menghebohkan publik dan aparat penegak hukum. Kejadian ini mengungkap praktik ilegal di kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi. Empat tersangka, seluruhnya warga Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Lumajang, telah ditetapkan oleh pihak Kepolisian Resor Lumajang. Ladang ganja tersebut terbagi di 59 lokasi berbeda di Dusun Pusung Duwur, wilayah yang berada di bawah pengawasan TNBTS.
Kasus ini bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sebelumnya, penemuan ladang ganja skala besar juga pernah terungkap di Taman Nasional Gunung Leuser pada tahun 2022. Direktorat Reserse Narkoba Polda DIY mengungkap ladang ganja seluas 7 hektar dengan lebih dari 70.000 tanaman ganja. Penemuan ini merupakan hasil pengembangan kasus penangkapan tersangka yang membawa ganja di Sleman, Yogyakarta. Proses penyelidikan yang panjang mengungkap jaringan pengedar yang berpusat di Medan dan akhirnya mengarah ke ladang ganja di wilayah Agusen, Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh. Petugas membutuhkan waktu 8 hingga 10 jam perjalanan untuk mencapai lokasi ladang ganja tersebut, yang menunjukkan betapa terpencilnya lokasi perkebunan ganja ilegal ini. Bukan hanya pada tahun 2022, Badan Narkotika Nasional (BNN) juga pernah melakukan pemusnahan ladang ganja seluas 22 hektar di Taman Nasional Gunung Leuser pada tahun 2015.
Peristiwa di TNBTS menimbulkan spekulasi di masyarakat, termasuk tudingan bahwa larangan penggunaan drone di kawasan tersebut bertujuan untuk melindungi ladang ganja dari pengawasan. Namun, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Raja Juli Antoni, membantah keras hal tersebut. Ia menegaskan bahwa penemuan ladang ganja justru dibantu oleh teknologi drone milik pihak TNBTS yang bekerja sama dengan kepolisian. Menteri menekankan bahwa ladang ganja tersebut bukanlah hasil kerja pihak Taman Nasional, justru sebaliknya, mereka aktif berpartisipasi dalam upaya pemberantasan kejahatan ini.
Kedua kasus ini, baik di TNBTS maupun Gunung Leuser, menunjukkan bahwa ancaman perkebunan ganja ilegal di wilayah konservasi merupakan masalah serius yang membutuhkan perhatian dan kerja sama lintas instansi. Selain penegakan hukum yang tegas, upaya pencegahan dan pengawasan yang lebih ketat, termasuk pemanfaatan teknologi dan kerjasama antar lembaga, menjadi hal krusial untuk melindungi kawasan taman nasional dari ancaman perusakan lingkungan dan kejahatan narkotika. Perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengawasan dan patroli di taman nasional untuk mencegah kejadian serupa terulang kembali. Penting juga untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyalahgunaan narkotika dan perlunya menjaga kelestarian lingkungan hidup.
Perbedaan skala luas lahan, lokasi geografis, dan metode penyelidikan dari kedua kasus ini menunjukkan kompleksitas peredaran ganja ilegal di Indonesia dan menunjukkan perlunya strategi yang komprehensif dan terpadu dalam penanggulangannya. Penyelidikan lebih lanjut terkait jaringan pengedar dan aktor di balik ladang ganja di TNBTS juga perlu dilakukan untuk membongkar jaringan yang lebih besar.