Revisi UU TNI: Ancaman Terselubung terhadap Supremasi Sipil di Indonesia

Revisi UU TNI: Ancaman Terselubung terhadap Supremasi Sipil di Indonesia

Kepercayaan publik terhadap TNI memang tinggi, namun hal ini tak lantas menjadi justifikasi untuk mengabaikan potensi bahaya dari revisi Undang-Undang TNI yang tengah dibahas. Revisi tersebut, yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil, menyimpan risiko serius bagi supremasi sipil yang telah susah payah dibangun pasca-Reformasi 1998. Argumentasi yang kerap dikemukakan—bahwa keterlibatan militer dapat meningkatkan efisiensi birokrasi—menunjukkan pemahaman yang dangkal tentang demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik. Demokrasi yang sehat tidak bergantung pada dominasi militer, melainkan pada sistem birokrasi yang transparan, akuntabel, dan meritokratis.

Sejarah berbagai negara, termasuk Argentina, Thailand, dan Myanmar, telah membuktikan bagaimana keterlibatan militer yang berlebihan dalam urusan sipil justru melemahkan demokrasi. Kepercayaan publik yang tinggi terhadap militer, tanpa diimbangi dengan mekanisme kontrol yang kuat dan pembatasan yang jelas, dapat berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan erosi supremasi sipil. Alih-alih memperkuat lembaga sipil, revisi UU TNI ini justru membuka jalan bagi militerisasi kebijakan publik secara terselubung. Jika tujuannya adalah meningkatkan efisiensi pemerintahan, mengapa fokus tidak diarahkan pada reformasi birokrasi sipil yang lebih komprehensif? Mengapa tidak diprioritaskan penguatan kapasitas lembaga-lembaga sipil yang sudah ada, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk penanganan bencana alam, atau lembaga penegak hukum untuk pemberantasan narkoba?

Risiko Politisasi Militer dan Pengaburan Batas Kewenangan

Lebih jauh lagi, revisi UU TNI berpotensi mempercepat politisasi militer. Penempatan perwira aktif dalam jabatan sipil strategis dapat mengaburkan loyalitas mereka, yang mungkin terbagi antara institusi militer dan elite politik yang memberikan mereka posisi tersebut. Kasus Letkol Teddy Indra Wijaya dan Brigjen Novi Helmy Prasetya menjadi contoh nyata bagaimana jalur karier militer dapat dimanipulasi untuk kepentingan politik. Kenaikan pangkat yang cepat dan penempatan dalam jabatan yang tidak sesuai dengan keahlian militer menunjukkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan dan mengikis prinsip profesionalisme di tubuh TNI.

Meskipun purnawirawan militer telah lama terlibat dalam politik, mereka setidaknya harus pensiun terlebih dahulu sebelum masuk ke ranah sipil. Revisi UU TNI yang memungkinkan perwira aktif menduduki jabatan sipil membuka peluang bagi militer untuk kembali menjadi kekuatan politik yang dominan, mengulangi kesalahan sejarah yang telah mengakibatkan penderitaan bangsa Indonesia di masa lalu. Hal ini akan berdampak buruk pada pengambilan keputusan, yang cenderung berpihak pada kepentingan institusional militer daripada kepentingan rakyat luas.

Penguatan Supremasi Sipil: Jalan Menuju Demokrasi yang Sehat

Indonesia memerlukan supremasi sipil yang kuat, bukan dominasi militer dalam pemerintahan. Demi mencegah skenario terburuk, pemerintah harus fokus pada reformasi birokrasi yang komprehensif, penguatan kapasitas lembaga sipil, dan penegasan batas yang tegas antara ranah militer dan sipil. Kolaborasi antara TNI dan lembaga sipil memang diperlukan, namun harus dilakukan dalam kerangka koordinasi yang transparan dan akuntabel, bukan dengan menempatkan perwira aktif dalam posisi strategis di pemerintahan sipil. Kepercayaan publik terhadap TNI adalah aset berharga, tetapi tidak boleh disalahgunakan untuk melegitimasi ekspansi militer ke ranah sipil.

Revisi UU TNI merupakan keputusan krusial yang akan membentuk masa depan demokrasi Indonesia. Pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari revisi ini. Apakah kita ingin TNI tetap menjadi penjaga pertahanan negara yang profesional, atau kembali ke masa di mana supremasi sipil hanya menjadi teori belaka? Pertanyaan ini harus dijawab dengan bijak dan bertanggung jawab, demi masa depan bangsa Indonesia.

Alternatif Solusi:

  • Perkuat reformasi birokrasi sipil dengan fokus pada transparansi, akuntabilitas, dan meritokrasi.
  • Tingkatkan kapasitas lembaga sipil yang menangani isu-isu non-tradisional, seperti BNPB dan lembaga penegak hukum.
  • Dorong sinergi yang transparan dan akuntabel antara TNI dan lembaga sipil dalam penanganan isu-isu keamanan nasional.
  • Tetapkan batasan yang jelas antara peran dan wewenang militer dan sipil.
  • Perkuat pengawasan publik terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah.