Polemik Izin Lahan PTPN III di Puncak: RDP DPR Ungkap Ketidakjelasan Tata Kelola dan Potensi Pelanggaran

Polemik Izin Lahan PTPN III di Puncak: RDP DPR Ungkap Ketidakjelasan Tata Kelola dan Potensi Pelanggaran

Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan PT Perkebunan Nusantara III (PTPN III) baru-baru ini menguak kontroversi pengelolaan lahan di kawasan Puncak, Bogor. RDP tersebut dilatarbelakangi isu alih fungsi lahan yang diduga menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta dan Bekasi. Sorotan tajam tertuju pada izin dan tata kelola lahan seluas 1.623,19 hektare (ha) di Gunung Mas, yang sebagian telah disegel oleh Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Direktur Utama PTPN III, Muhammad Abdul Ghani, memberikan penjelasan rinci mengenai penggunaan lahan di Gunung Mas. Ia memaparkan bahwa lahan tersebut dialokasikan untuk berbagai keperluan, termasuk:

  • Okupansi: 488,21 ha (30,69%)
  • Reboisasi hutan: 407,28 ha (25,09%)
  • Mitra B2B: 306,14 ha (18,86%)
  • Tanaman teh: 235,52 ha (14,51%)
  • Areal cadangan: 80,00 ha (4,93%)
  • Unit agrowisata: 39,08 ha (2,41%)
  • Fasilitas sosial dan fasilitas umum (Fasos dan Fasum): 24,31 ha (1,50%)
  • Areal marjinal: 21,65 ha (1,33%)
  • Emplasmen: 11,00 ha (0,68%)

Namun, penjelasan Ghani mengenai perizinan justru menimbulkan pertanyaan lebih banyak. Ia menegaskan bahwa seluruh izin pembangunan diperoleh dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor, tanpa melibatkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun Pemerintah Pusat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi pelanggaran regulasi tata ruang dan lingkungan. Ghani menjelaskan bahwa pengelolaan lahan tersebut berdasarkan Keputusan Bupati Bogor, termasuk penerbitan Hak Guna Usaha (HGU).

Lebih lanjut, Ghani menyinggung adanya pertemuan dengan Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) terkait persyaratan pengelolaan lahan. Ia juga menjelaskan bahwa Pemerintah Daerah juga mengatur penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), serta Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL-UKL) untuk lahan dengan skala kecil. Terkait pembangunan, Ghani menjelaskan adanya batasan berupa koefisien wilayah terbangun (KWT) dan koefisien dasar bangunan (KDB), yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan, terutama di kawasan Puncak yang merupakan daerah resapan air.

Sementara itu, penyegelan tiga lokasi di kawasan Sentul dan Gunung Mas oleh Kementerian Koordinator Bidang Pangan dan KLH menunjukkan adanya pelanggaran lingkungan yang serius. Lokasi yang disegel meliputi Gunung Geulis Country Club (masalah sampah dan izin TPS Limbah B3), Summarecon Bogor (sedimentasi sungai), dan Bobocabin (pelanggaran izin tata ruang). Langkah penyegelan ini, menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan, merupakan upaya untuk menjaga kelestarian alam dan ketahanan pangan.

RDP tersebut menyoroti kompleksitas permasalahan pengelolaan lahan di kawasan Puncak, yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah daerah hingga perusahaan perkebunan. Ketidakjelasan dan potensi inkonsistensi dalam perizinan serta pengawasan lingkungan menjadi isu krusial yang memerlukan penyelidikan dan penyelesaian yang komprehensif untuk mencegah terulangnya permasalahan serupa dan melindungi lingkungan.