RUU TNI: Perluasan Jabatan Sipil untuk Militer Aktif Menuai Kritik, Dinilai Mereduksi Supremasi Sipil
RUU TNI: Perluasan Jabatan Sipil untuk Militer Aktif Tuai Kontroversi
Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) tengah menjadi sorotan tajam menyusul rencana perluasan penempatan jabatan sipil bagi prajurit aktif. Direktur Imparsial, Ardi Manto Putra, menyoroti langkah ini sebagai upaya mereduksi supremasi sipil yang telah dibangun sejak era reformasi. Perubahan ini, menurut Ardi, menunjukkan pergeseran paradigma yang mengkhawatirkan.
UU TNI sebelumnya membatasi hanya 10 jabatan sipil yang dapat diisi oleh personel militer aktif. Namun, revisi ini meningkatkan jumlah tersebut menjadi 14 lembaga sipil. Ardi menekankan bahwa alih-alih mengurangi angka tersebut demi penguatan supremasi sipil dan kemajuan demokrasi, revisi justru memperluasnya. Menurutnya, peningkatan jumlah jabatan sipil yang dapat diduduki oleh militer aktif merupakan langkah mundur dalam konteks penegakan supremasi sipil.
Sejarah dan Kompromi Politik
Ardi menjelaskan bahwa penetapan 10 jabatan sipil pada UU tahun 2004 merupakan hasil kompromi antara pimpinan partai politik dan militer aktif di masa transisi Orde Baru menuju era reformasi. Pembatasan ini merupakan upaya untuk mengurangi dominasi militer dalam pemerintahan, sebuah warisan dari masa Orde Baru di mana militer memegang peran signifikan dalam pemerintahan sipil. Kini, dengan penambahan tersebut, dikhawatirkan akan terjadi kemunduran dari prinsip supremasi sipil yang telah susah payah dibangun.
Dampak Revisi UU TNI
Perubahan yang signifikan dalam RUU TNI juga mencakup perpanjangan masa dinas keprajuritan. Bintara dan tamtama akan dapat berdinas hingga usia 58 tahun, sementara perwira hingga usia 60 tahun. Bahkan, kemungkinan perpanjangan hingga 65 tahun bagi prajurit dengan jabatan fungsional juga terbuka. Perluasan penempatan prajurit aktif di kementerian/lembaga juga menjadi bagian dari revisi, yang menurut pemerintah didorong oleh peningkatan kebutuhan akan keahlian militer di berbagai sektor.
Komisi I DPR RI telah menyetujui RUU TNI untuk dibawa ke tingkat II, dan rencananya akan disahkan menjadi UU pada rapat paripurna. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk Imparsial, yang menilai revisi ini berpotensi melemahkan supremasi sipil dan mengancam demokrasi.
Kekhawatiran atas Supremasi Sipil
Ardi secara tegas menyatakan keprihatinannya atas revisi ini. Ia menilai revisi tersebut merupakan upaya sistematis untuk mengurangi peran sipil dalam pemerintahan dan memberikan ruang yang lebih besar bagi militer. Ini, menurutnya, berpotensi mengarah pada kemunduran demokrasi dan mengulang kesalahan masa lalu. Ia mendesak agar DPR dan pemerintah mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang berkaitan dengan perluasan jabatan sipil bagi militer aktif untuk memastikan supremasi sipil tetap terjaga dan terlindungi.
Kesimpulan
Perluasan penempatan jabatan sipil bagi prajurit aktif dalam revisi UU TNI menimbulkan kontroversi dan kekhawatiran akan melemahnya supremasi sipil. Perdebatan ini menuntut diskusi publik yang mendalam untuk memastikan revisi UU TNI tetap selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan sipil yang baik.