Ramadhan di Negeri Orang: Kisah Warga Negara Indonesia di London dan New York
Ramadhan di Negeri Orang: Kisah Warga Negara Indonesia di London dan New York
Bulan Ramadhan, bulan suci bagi umat muslim di seluruh dunia, memberikan pengalaman unik bagi warga negara Indonesia (WNI) yang merayakannya di luar negeri. Jauh dari keluarga dan lingkungan yang familiar, mereka tetap merasakan kehangatan Ramadhan di tengah perbedaan budaya dan lingkungan sekitar. Kompas.com menelusuri pengalaman dua WNI, seorang pria di London dan seorang mahasiswi di New York, selama menjalankan ibadah puasa di bulan suci ini.
Di London, MS, seorang pria berusia 32 tahun asal Bekasi yang telah menetap selama dua tahun, merasakan atmosfer Ramadhan yang cukup terasa, terutama di sekitar masjid-masjid dan beberapa lokasi ikonik seperti Leicester Square dan Regent Street yang dihias dengan lampu-lampu khas Ramadhan. Meskipun tidak semeriah di Indonesia, MS mengaku tetap merasakan kehangatan suasana Ramadhan. Kedekatan dengan masjid memungkinkannya untuk tetap menjalankan ibadah shalat Subuh berjamaah setelah sahur dan shalat Tarawih setelah berbuka puasa, seperti yang biasa dilakukan di tanah air. MS juga mencatat pengaruh Wali Kota London, Sadiq Khan yang beragama Islam, turut mewarnai suasana Ramadhan di kota tersebut. Durasi puasa di London, sekitar 13 jam, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, dengan adzan Subuh berkumandang sekitar pukul 04.30 pagi dan waktu berbuka sekitar pukul 18.00 hingga 18.30. Namun, pengalaman berpuasa di luar negeri tidak selalu mudah. MS mengenang pengalamannya berpuasa di Belanda pada 2015-2016, dimana perbedaan waktu yang signifikan dan kurangnya perhatian dari pihak hotel membuatnya kelewatan waktu sahur.
Berbeda dengan pengalaman MS, Laras, mahasiswi S2 di New York University (NYU), menjalani Ramadhan pertamanya di luar negeri. Ia menuturkan durasi puasa di New York cukup mirip dengan Indonesia, terutama selama sembilan hari pertama. Waktu Subuh sekitar pukul 05.00 dan Maghrib pukul 18.00 WIB (Eastern Standard Time/EST). Namun, setelah memasuki hari ke-10, pergantian waktu ke Eastern Daylight Time (EDT) membuat waktu Subuh mundur menjadi pukul 06.00 dan Maghrib pukul 19.00. Meskipun demikian, Laras mengakui bahwa berpuasa di Bogor, kota asalnya, tetap terasa lebih nyaman, terutama karena kemudahan akses terhadap makanan dan suara adzan. Di New York, ia mengandalkan aplikasi pengingat waktu shalat karena tidak ada suara adzan yang berkumandang. Ia juga menceritakan pengalaman uniknya ketika rekan-rekan kampusnya terkejut mengetahui bahwa puasa berarti tidak makan dan minum sama sekali sejak Subuh hingga Maghrib, sebuah kebiasaan yang sangat berbeda dengan budaya di Amerika Serikat. Meskipun jauh dari rumah, baik MS maupun Laras tetap menjalankan ibadah Ramadhan dengan khidmat, membuktikan bahwa semangat Ramadhan dapat dirasakan di mana pun selama ada niat dan dukungan komunitas.
Pengalaman kedua WNI ini menggambarkan tantangan dan keindahan menjalankan ibadah Ramadhan di luar negeri. Mereka menunjukkan bahwa meskipun jauh dari kampung halaman, semangat Ramadhan tetap dapat dipertahankan dengan adaptasi dan dukungan dari lingkungan sekitar. Perbedaan budaya dan kebiasaan menjadi bumbu pengalaman yang memperkaya makna Ramadhan mereka.