Dilema Kepemimpinan dan Nasib Sungai Citarum: Antara Keputusan Cepat dan Kolaborasi Berkelanjutan
Dilema Kepemimpinan dan Nasib Sungai Citarum: Antara Keputusan Cepat dan Kolaborasi Berkelanjutan
Sungai Citarum, urat nadi kehidupan bagi jutaan warga Jawa Barat dan Jakarta, hingga kini masih bergumul dengan permasalahan pencemaran yang kompleks dan telah berlangsung selama beberapa dekade. Eksploitasi sumber daya alam yang tak terkendali sejak akhir 1980-an, dipicu oleh pesatnya industrialisasi dan pertumbuhan pemukiman di sepanjang bantaran sungai, telah mengakibatkan akumulasi limbah domestik dan industri yang mencemari ekosistem sungai secara masif. Permasalahan ini bukan semata-mata masalah lingkungan, melainkan juga cerminan dari pandangan hidup manusia modern yang cenderung mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Kondisi ini diperparah oleh belum optimalnya implementasi Perpres No. 15 Tahun 2018 tentang Satgas Citarum Harum, yang bertujuan untuk mempercepat upaya kolaboratif dalam pencegahan dan penanggulangan pencemaran serta pemulihan DAS Citarum.
Potensi Sungai Citarum sangat besar, meliputi pemenuhan kebutuhan air bersih bagi 18 juta penduduk, pembangkitan listrik hingga 1.880 MW, pengairan lahan pertanian seluas 420.000 hektare, dan sebagai sumber air baku bagi 80 persen kebutuhan air minum Jakarta. Ribuan industri juga bergantung pada ketersediaan air dari Citarum. Namun, keberadaan potensi ini terancam oleh kurangnya kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga kelestarian sungai. Kurangnya program terstruktur, terkoordinasi, dan terintegrasi antar kementerian/lembaga dan pemerintah daerah turut memperburuk situasi. Dalam konteks ini, kepemimpinan Dedi Mulyadi sebagai Komandan Satgas Citarum Harum menjadi sorotan. Gaya kepemimpinan autokratiknya, yang di satu sisi dinilai mampu mengambil keputusan cepat dan tegas, di sisi lain menuai kritik karena dianggap kurang kolaboratif dan cenderung mengabaikan masukan dari berbagai pihak.
Kritik terhadap kepemimpinan autokratik Dedi Mulyadi muncul dari kalangan akademisi, yang menyebutnya sebagai 'one man show'. Meskipun kecepatan dan ketegasan dalam pengambilan keputusan menjadi keuntungan gaya kepemimpinan ini, terutama dalam situasi darurat seperti pencemaran Sungai Citarum, namun hal tersebut juga berpotensi mengabaikan aspek kolaborasi yang krusial. Penutupan pabrik yang terbukti mencemari, seperti contoh pembongkaran Hibiscus Fantasy Puncak di Bogor, dapat menjadi terapi kejut yang efektif, tetapi solusi jangka panjang membutuhkan keterlibatan semua pemangku kepentingan. Suksesnya program Citarum Harum memerlukan pendekatan integratif yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah, akademisi, masyarakat, industri, dan media—sebuah sinergi pentahelix yang sesungguhnya.
Untuk mengatasi kompleksitas masalah Citarum, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengendalikan situasi, memastikan semua langkah sesuai visi jangka panjang, serta mampu mengintegrasikan sumber daya manusia, dana, dan teknologi. Namun, pendekatan yang terlalu terpusat berisiko mengabaikan kearifan lokal dan partisipasi masyarakat. Implementasi konsep “Sareundeuk saigel sabobot sapihanean sabata sarimbagan” (bersatu, bekerja sama, bahu membahu untuk mencapai tujuan bersama) menjadi kunci dalam mewujudkan solusi berkelanjutan. Program Citarum Harum bukan sekadar proyek administratif, melainkan sebuah gerakan filosofis untuk merawat alam dan membangun peradaban yang berkelanjutan. Hanya dengan kolaborasi dan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya Sungai Citarum bagi kehidupan, mimpi akan Citarum yang bersih dan lestari dapat terwujud.