Kemendag Investigasi Dugaan Manipulasi Takaran MinyaKita: Repacker Terancam Sanksi
Kemendag Investigasi Dugaan Manipulasi Takaran MinyaKita: Repacker Terancam Sanksi
Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengambil langkah tegas dengan memanggil sejumlah pengemas (repacker) produk MinyaKita terkait laporan mengenai dugaan pengurangan takaran yang merugikan konsumen. Pemanggilan ini dilakukan sebagai respons atas temuan di lapangan yang mengindikasikan adanya ketidaksesuaian volume pada kemasan MinyaKita.
Rapat yang berlangsung di kantor Kemendag pada hari Selasa (18/3/2025), dihadiri oleh perwakilan dari berbagai asosiasi industri minyak goreng, termasuk Himpunan Pengusaha dan Pabrik Minyak Goreng Indonesia (HIPPMIGI) dan Perkumpulan Pengusaha Minyak Indonesia (Permikindo). Tujuan utama pertemuan ini adalah untuk memastikan bahwa seluruh pihak terkait mematuhi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 18 Tahun 2024 yang mengatur standar kualitas dan takaran MinyaKita.
Dugaan Pelanggaran Mencuat ke Permukaan
Isu mengenai potensi manipulasi takaran MinyaKita pertama kali mencuat setelah Menteri Pertanian, Andi Amran Sulaiman, melakukan inspeksi mendadak di sejumlah pasar. Dalam inspeksi tersebut, ditemukan kemasan MinyaKita 1 liter yang isinya tidak sesuai dengan label yang tertera. Temuan ini langsung memicu reaksi keras dari Menteri Perdagangan, Budi Santoso, yang menegaskan bahwa produk-produk yang tidak memenuhi standar akan segera ditarik dari peredaran.
"Kami tidak akan mentolerir praktik-praktik yang merugikan konsumen. Pengawasan akan kami perketat, dan tindakan tegas akan diambil terhadap para pelaku pelanggaran," ujar Menteri Perdagangan.
Pembelaan Repacker: Terjepit Harga Bahan Baku
Menanggapi tuduhan tersebut, beberapa repacker MinyaKita mengaku kesulitan mendapatkan pasokan minyak dari skema Domestic Market Obligation (DMO), yang seharusnya menjadi sumber utama bahan baku MinyaKita. Darmaiyanto, Sekretaris Jenderal Permikindo, menjelaskan bahwa akar masalahnya terletak pada harga minyak DMO yang tidak terjangkau bagi para repacker.
"Repacker kesulitan mendapatkan minyak DMO dengan harga yang sesuai. Kalaupun ada, harganya sudah sangat tinggi," ungkap Darmaiyanto.
Akibat mahalnya bahan baku, beberapa repacker terpaksa mengambil jalan pintas dengan mengurangi takaran MinyaKita agar tetap bisa berproduksi dan menjaga harga tetap terjangkau bagi konsumen. "Kami tidak bermaksud melakukan penipuan, tetapi kami harus mencari cara untuk bertahan di tengah kondisi yang sulit ini," imbuhnya.
Evaluasi Kebijakan MinyaKita
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Iqbal Shoffan, mengakui adanya permasalahan terkait distribusi minyak DMO kepada para repacker. Ia menjelaskan bahwa distribusi minyak DMO dilakukan melalui mekanisme bisnis-ke-bisnis (B2B) antara produsen dan repacker, bukan melalui skema subsidi pemerintah.
Kemendag saat ini tengah melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan MinyaKita, termasuk kemungkinan untuk menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang saat ini ditetapkan sebesar Rp15.700 per liter. "Kami akan membahas isu ini secara mendalam dengan seluruh stakeholder terkait," kata Iqbal.
Iqbal juga menegaskan bahwa MinyaKita bukanlah produk bersubsidi dan harus tetap difokuskan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat menengah ke bawah.
Sanksi Menanti Para Pelanggar
Sebagai catatan, Kemendag telah menjatuhkan sanksi kepada 66 pelaku usaha MinyaKita yang terbukti melanggar aturan, termasuk menjual di atas HET dan melakukan bundling dengan produk lain. Sanksi yang diberikan bervariasi, mulai dari peringatan hingga pencabutan izin usaha bagi pelanggar berulang.
Krisis Pasokan DMO: Akar Masalah yang Perlu Diatasi
Skema Domestic Market Obligation (DMO) mewajibkan eksportir minyak sawit mentah (CPO) untuk menyisihkan sebagian dari volume ekspornya (sekitar 20%) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Namun, meskipun skema ini telah berjalan, pasokan minyak goreng rakyat masih belum mencukupi. Saat ini, pasokan DMO hanya mampu memenuhi sekitar 160.000-170.000 ton per bulan, sementara kebutuhan nasional mencapai 257.000 ton per bulan.
Ketidakseimbangan ini memaksa banyak produsen untuk menggunakan minyak komersial dengan harga yang lebih tinggi untuk memproduksi MinyaKita, yang pada akhirnya berdampak pada penyesuaian takaran dan harga.
Pemerintah saat ini tengah berupaya untuk mengkaji ulang kebijakan DMO dan sistem distribusi MinyaKita secara menyeluruh, dengan tujuan untuk memastikan bahwa masyarakat tetap dapat mengakses minyak goreng dengan harga terjangkau tanpa melanggar aturan.
Sumber: Tim Redaksi