RUU TNI Disahkan: Kontroversi Perluasan Jabatan Sipil dan Ancaman Terhadap Supremasi Sipil
Pengesahan RUU TNI Menuai Kritik: Potensi Mengikis Supremasi Sipil dan Regenerasi
Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada tanggal 20 Maret 2025, melalui rapat paripurna DPR RI, telah memicu gelombang kritik dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Proses pembahasan RUU yang dinilai tergesa-gesa dan kurang transparan ini menimbulkan kekhawatiran mendalam terkait potensi kembalinya praktik dwifungsi ABRI serta pelemahan supremasi sipil.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil, termasuk Imparsial dan Komnas HAM, telah menyuarakan keprihatinan mereka terhadap beberapa poin krusial dalam RUU TNI. Salah satu poin utama yang menjadi sorotan adalah perluasan penempatan personel militer aktif di jabatan sipil. Pasal 47 RUU TNI memungkinkan penambahan jumlah jabatan sipil yang dapat diduduki oleh TNI aktif, dari semula dibatasi 10 jabatan dalam UU Nomor 34 Tahun 2004, menjadi 16 lembaga sipil. Hal ini dinilai sebagai perubahan paradigma yang mengarah pada reduksi supremasi sipil.
Direktur Imparsial, Ardi Manto Putra, berpendapat bahwa penambahan jabatan sipil bagi militer aktif merupakan langkah mundur dari semangat reformasi yang bertujuan untuk memantapkan supremasi sipil. Ia menekankan bahwa idealnya, jumlah jabatan sipil yang diduduki oleh TNI aktif justru harus dikurangi, bukan malah ditambah, demi memperkuat demokrasi di Indonesia.
Kekhawatiran Komnas HAM: Regenerasi dan Dwifungsi
Komnas HAM juga menyoroti beberapa aspek problematik dalam RUU TNI. Perubahan Pasal 53 UU TNI yang mengusulkan perpanjangan usia pensiun prajurit berpotensi menghambat proses regenerasi di tubuh TNI. Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah, menyatakan bahwa perubahan ini dapat mempolitisasi pengelolaan jabatan di lingkungan TNI dan memperlambat regenerasi.
Selain itu, Komnas HAM juga menyoroti potensi kembalinya dwifungsi ABRI jika RUU TNI disahkan. Praktik dwifungsi ABRI, yang memberikan peran ganda kepada militer dalam pemerintahan dan kehidupan sosial, telah dinyatakan bertentangan dengan TAP MPR Nomor VII/MPR/2000. Komnas HAM khawatir bahwa perluasan jabatan sipil bagi TNI aktif dapat menghidupkan kembali praktik ini dan mengancam prinsip supremasi sipil.
Anis Hidayah menjelaskan bahwa TAP MPR yang melarang dwifungsi TNI menegaskan bahwa prajurit aktif adalah bagian dari rakyat dan komponen utama dalam sistem pertahanan negara. Namun, RUU TNI memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan di 16 kementerian atau lembaga sipil, bahkan membuka peluang bagi Presiden untuk menempatkan mereka di kementerian lain. Hal ini dinilai sebagai ancaman serius terhadap supremasi sipil dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.
Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, telah meminta DPR untuk menunda pengesahan RUU TNI demi memberikan waktu untuk pembahasan yang lebih mendalam dan partisipatif. Masyarakat sipil berharap agar DPR dapat mempertimbangkan kembali poin-poin krusial dalam RUU TNI dan memastikan bahwa undang-undang ini tidak mengancam supremasi sipil, regenerasi di tubuh TNI, dan prinsip-prinsip demokrasi.
Daftar Poin-Poin Krusial:
- Perluasan jabatan sipil bagi TNI aktif (Pasal 47)
- Perpanjangan usia pensiun prajurit (Pasal 53)
- Potensi kembalinya dwifungsi ABRI
- Reduksi supremasi sipil
- Hambatan regenerasi di tubuh TNI