Terungkap: Anomali Perilaku Oknum Aparat Keamanan di Tengah Sorotan Kesejahteraan

Terungkap: Anomali Perilaku Oknum Aparat Keamanan di Tengah Sorotan Kesejahteraan

Survei terkini menunjukkan apresiasi publik yang tinggi terhadap institusi kepolisian dan militer. Namun, ironi muncul seiring dengan maraknya laporan mengenai perilaku menyimpang yang dilakukan oleh oknum-oknum di dalam kedua lembaga tersebut. Pertanyaan mendasar pun muncul: mengapa di tengah citra positif dan jaminan kesejahteraan, masih saja terjadi tindakan yang mencoreng nama baik korps?

Kontradiksi Citra dan Realita

Hasil survei Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kompas pada Januari 2025 menunjukkan bahwa citra polisi berada di angka 65,7 persen, sementara TNI mencatatkan angka fantastis 94,2 persen. Angka ini mencerminkan kepercayaan masyarakat terhadap peran dan fungsi kedua institusi tersebut dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Akan tetapi, fakta di lapangan seringkali bertolak belakang. Serangkaian kasus kriminal yang melibatkan oknum polisi dan tentara telah mencoreng citra positif yang telah dibangun dengan susah payah.

Beberapa contoh kasus yang mencuat ke permukaan antara lain:

  • Oknum Polisi: Terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan bahkan menjual video hasil kejahatannya ke situs porno.
  • Oknum TNI: Melakukan penembakan yang menyebabkan kematian warga sipil, terlibat dalam kasus penembakan sesama aparat, serta terlibat dalam aktivitas ilegal seperti perjudian.

Mengurai Akar Permasalahan

Pertanyaan yang muncul adalah apakah akar dari perilaku menyimpang ini terletak pada masalah kesejahteraan? Data menunjukkan bahwa gaji pokok anggota TNI dan Polri, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 dan 7 Tahun 2024, berkisar antara Rp 1.775.000 hingga Rp 6.405.500, tergantung pada pangkat dan masa kerja. Selain gaji pokok, mereka juga menerima berbagai tunjangan, termasuk biaya operasional harian yang mencapai Rp 97.000. Jika ditotal, pendapatan seorang prajurit dengan pangkat terendah bisa mencapai Rp 4,7 juta per bulan, belum termasuk tunjangan keluarga, jabatan, dan masa kerja. Angka ini dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di berbagai daerah di Indonesia.

Lantas, mengapa masih ada oknum yang terlibat dalam tindak kriminal? Jika motif ekonomi menjadi pemicu, mengapa aparat dengan jabatan strategis dan penghasilan yang relatif memadai masih nekat melakukan tindakan yang melanggar hukum dan etika?

Hedonisme dan Degradasi Moral

Analisis lebih mendalam mengungkapkan bahwa faktor ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab. Ada indikasi kuat bahwa gaya hidup hedonis dan keinginan untuk mendapatkan kekayaan secara instan juga berperan besar. Oknum aparat yang terlibat dalam kejahatan seringkali tergiur dengan iming-iming keuntungan materi yang besar dan cepat, tanpa mempedulikan konsekuensi hukum dan sosial yang akan mereka hadapi.

Contohnya, seorang perwira polisi yang merekam dan menjual video porno jelas termotivasi oleh keuntungan ekonomi. Demikian pula, seorang anggota TNI yang menembak pemilik mobil rental demi mendapatkan mobil murah menunjukkan hasrat untuk memiliki barang mewah dengan cara yang melanggar hukum. Kasus-kasus ini mencerminkan adanya degradasi moral dan hilangnya idealisme sebagai abdi negara.

Pragmatisme dan Komodifikasi Status

Fenomena ini juga menyoroti adanya pergeseran nilai dalam rekrutmen dan pembinaan aparat keamanan. Alasan idealisme dan pengabdian kepada negara yang seringkali menjadi jawaban saat seleksi masuk, tampaknya hanya menjadi formalitas belaka. Pada kenyataannya, banyak oknum yang memilih menjadi polisi atau tentara hanya karena ingin mendapatkan pekerjaan tetap dengan gaji dan tunjangan yang terjamin.

Ketika pendapatan yang diperoleh tidak sebanding dengan gaya hidup mewah yang mereka idamkan, mereka kemudian mencari cara-cara ilegal untuk mendapatkan kekayaan dengan memanfaatkan status dan jabatan mereka. Mereka mengkomodifikasi status keprajuritan untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa mempedulikan sumpah dan janji yang telah mereka ucapkan.

Relevansi Idealisme dipertanyakan

Dengan maraknya kasus perilaku menyimpang yang melibatkan oknum polisi dan tentara, pertanyaan besar muncul: apakah idealisme sebagai seorang abdi negara masih relevan? Apakah alasan pengabdian kepada negara dan panggilan jiwa masih menjadi motivasi utama bagi mereka yang ingin bergabung dengan institusi kepolisian dan militer? Ataukan, profesi ini hanya dipandang sebagai sarana untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang stabil?

Reformasi menyeluruh dalam sistem rekrutmen, pendidikan, dan pembinaan aparat keamanan menjadi জরুরি. Penanaman nilai-nilai moral dan etika profesi, serta pengawasan yang ketat terhadap perilaku aparat di lapangan, menjadi kunci untuk mencegah terulangnya kasus-kasus serupa di masa depan. Hanya dengan begitu, citra positif institusi kepolisian dan militer dapat dipertahankan dan kepercayaan masyarakat dapat dipulihkan.