Tradisi Unik Tarawih Kilat 13 Menit di Pesantren Mambaul Hikam, Blitar

Tradisi Unik Tarawih Kilat 13 Menit di Pesantren Mambaul Hikam, Blitar

Ramadan tahun ini menyajikan pemandangan unik di Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Desa Mantenan, Kecamatan Udanawu, Kabupaten Blitar. Di tengah kesibukan dan beragamnya aktivitas masyarakat selama bulan suci, tradisi salat Tarawih kilat dengan durasi sekitar 13 menit tetap lestari dan menjadi daya tarik tersendiri. Uniknya, tradisi ini telah berlangsung lebih dari seabad, sejak tahun 1907, menjadikannya warisan budaya religi yang patut dijaga dan dilestarikan.

Setiap malam di bulan Ramadan, Masjid Pondok Pesantren Mambaul Hikam dipenuhi jamaah yang ingin merasakan pengalaman spiritual yang berbeda ini. Sebelum waktu Isya, jamaah mulai berdatangan, dengan jamaah laki-laki dan perempuan dipisahkan di area masjid dan aula pesantren. DetikJatim berkesempatan menyaksikan langsung pelaksanaan Tarawih kilat ini dan mendapati antusiasme jamaah yang tinggi. Salah satu jamaah asal Kota Blitar, Ninda, mengungkapkan rasa penasarannya yang mendorongnya untuk mengikuti salat Tarawih kilat ini untuk pertama kalinya. Ia mengaku terkesan dengan kecepatan salat tanpa mengurangi kekhusyukan. Menurutnya, fokus dan konsentrasi menjadi kunci untuk mengikuti salat Tarawih dengan durasi yang singkat ini. Pengalaman spiritual ini, katanya, menjadi sesuatu yang berbeda dan berkesan, terutama karena Tarawih kilat merupakan tradisi khusus Ramadan.

Hal senada disampaikan oleh Hafiz Saputra, seorang warga Ringinrejo, Kediri. Ia telah mengikuti Tarawih kilat di Pesantren Mambaul Hikam setiap Ramadan selama beberapa tahun terakhir, karena efisiensi waktu yang ditawarkan. Kedekatan lokasi pesantren dengan rumahnya (hanya 10 menit perjalanan) menjadi salah satu alasannya. Bagi Hafiz, tradisi ini menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadannya.

Anak pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikam, Muhammad Shodiqi Basthul Birri atau Gus Basid, menjelaskan latar belakang tradisi Tarawih kilat ini. Ia mengungkapkan bahwa tradisi ini bermula pada tahun 1907 sebagai upaya untuk menarik minat masyarakat untuk kembali melaksanakan salat Tarawih. Pada masa itu, pelaksanaan Tarawih dengan durasi normal mengalami penurunan jumlah jamaah. Dengan memangkas durasi salat, ternyata jumlah jamaah justru meningkat dan hingga kini tradisi ini tetap terjaga. Gus Basid juga meluruskan anggapan bahwa durasi Tarawih kilat hanya 7 menit, melainkan sekitar 12-13 menit, yang mencakup 23 rakaat beserta doa-doanya. Ia menekankan bahwa meskipun cepat, pelaksanaan salat tetap sesuai syariat Islam, tidak mengurangi rukun dan syarat salat, termasuk bacaan wajib dan tuma'ninah, baik untuk imam jamaah laki-laki maupun perempuan.

Tradisi Tarawih kilat di Pesantren Mambaul Hikam bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan juga menjadi bagian penting dari warisan budaya lokal. Keberadaan tradisi ini menunjukkan kreativitas dan adaptasi masyarakat dalam menjalankan ibadah di tengah dinamika kehidupan modern. Keberhasilannya dalam menarik minat masyarakat untuk beribadah juga patut menjadi inspirasi bagi pengembangan strategi dakwah yang lebih efektif dan menarik.

Beberapa poin penting yang bisa disoroti:

  • Keunikan: Tradisi Tarawih kilat selama lebih dari seabad.
  • Latar Belakang: Upaya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam salat Tarawih.
  • Efisiensi Waktu: Menarik minat jamaah karena durasi yang singkat.
  • Aspek Religius: Tetap sesuai syariat Islam meskipun dengan durasi singkat.
  • Pelestarian Budaya: Tradisi yang unik dan perlu dilestarikan.
  • Dampak Positif: Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan keagamaan.