Turbulensi Pasar Modal: Antara Krisis Politik, Kebijakan Ekonomi, dan Kepercayaan Investor

Turbulensi Pasar Modal: Antara Krisis Politik, Kebijakan Ekonomi, dan Kepercayaan Investor

Gejolak yang melanda pasar modal dalam beberapa waktu terakhir memicu pertanyaan mendasar: bagaimana membaca penurunan tajam harga saham yang terjadi secara beruntun? Jawaban komprehensif atas pertanyaan ini tidak dapat dipisahkan dari analisis ekonomi politik yang mendalam. Pasar modal, sebagai barometer sentimen investor, bereaksi terhadap kombinasi kompleks antara faktor ekonomi dan politik yang saling memengaruhi.

Secara historis, pergantian pemerintahan seringkali disambut positif oleh pasar, mencerminkan harapan akan arah kebijakan baru dan stabilitas. Pemilihan umum idealnya menjadi momentum penyegaran kepemimpinan, di mana dukungan mayoritas rakyat memberikan legitimasi kepada pemerintah baru. Namun, validitas dukungan ini menjadi krusial. Jika proses demokrasi tercoreng oleh praktik-praktik seperti tekanan politik, praktik transaksional, dan manipulasi, dukungan formal di atas kertas tidak mencerminkan dukungan riil yang tulus.

Pasar modal berfungsi sebagai alarm atau wake-up call terhadap dinamika politik dan arah kebijakan pemerintah. Penurunan tajam indeks harga saham (IHSG) menjadi sinyal kuat bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Pemerintah, para pemimpin, dan pengambil kebijakan harus menyadari bahwa sebagian besar masalah ekonomi berakar pada faktor politik, dan sebaliknya, masalah politik seringkali dipicu oleh masalah ekonomi.

Penolakan Pasar dan Dampaknya

Analis pasar sepakat bahwa penurunan IHSG saat ini mencerminkan penolakan pasar terhadap arah politik ekonomi dan kebijakan yang diambil. Penolakan ini termanifestasi dalam bentuk arus modal keluar (capital outflow) dari Indonesia, di mana investor memilih instrumen investasi yang dianggap lebih aman dari ketidakpastian politik. Perlu dicatat bahwa isu-isu politik, bahkan yang tampaknya tidak langsung terkait dengan ekonomi (misalnya, isu yang berkaitan dengan peran TNI), dapat memicu kekhawatiran dan berdampak pada sentimen pasar.

Kekhawatiran akan potensi kemunduran demokrasi, yang diperjuangkan selama era reformasi setelah puluhan tahun berada di bawah pemerintahan yang represif, menjadi katalis penting. Pasar khawatir bahwa prinsip-prinsip demokrasi dapat tergelincir kembali ke arah otoritarianisme, militerisme, dan praktik-praktik yang merusak tatanan demokrasi. Erosi demokrasi yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dan harapan akan pemulihan di bawah kepemimpinan baru, kini menghadapi tantangan serius. Ketidakstabilan ini memicu reaksi pasar yang negatif dan mendorong modal untuk mencari tempat yang lebih aman.

Kebijakan Ekonomi yang Kontroversial

Selain faktor politik, kebijakan ekonomi juga memainkan peran signifikan dalam turbulensi pasar saat ini. Penurunan IHSG dari 7.163 pada tahun 2004 menjadi 6.146 saat ini, atau lebih dari 11% dalam tiga bulan terakhir, mengindikasikan adanya krisis. Kebijakan pembentukan Danantara, yang disahkan oleh DPR dalam waktu singkat, menjadi contoh kebijakan yang menuai reaksi keras dari pasar. Meskipun ide pembentukan lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Temasek memiliki potensi positif, implementasi kebijakan yang tergesa-gesa dapat menjadi bumerang.

Kebijakan pembentukan Danantara memicu reaksi pasar yang frontal, menyebabkan investor asing menarik dana sebesar Rp 24 triliun, termasuk Rp 3,47 triliun sehari setelah peresmiannya. Proses pengambilan kebijakan kolektif antara pemerintah, DPR, dan kabinet perlu dievaluasi. Pemerintah perlu menjalin komunikasi yang lebih baik dengan pasar, mendengarkan masukan dari para pelaku pasar, dan menghindari kebijakan yang diluncurkan secara mendadak tanpa konsultasi yang memadai.

Perilaku Pemerintah dan Kebijakan Fiskal

Politik, perilaku pemerintah, dan kebijakan yang diambil merupakan faktor utama yang menyebabkan penolakan pasar. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, dapat memicu reaksi yang lebih serius, yaitu vote of no confidence terhadap pemerintah. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah perbaikan, bersikap lebih ramah terhadap pasar, dan merumuskan kebijakan yang pro-pasar.

Kondisi fiskal dan kebijakan yang agresif namun kurang berdasarkan data faktual, defisit anggaran yang melebar, penerimaan pajak yang seret, dan berbagai program pemerintah yang menimbulkan ketidakpastian menjadi faktor yang memperburuk sentimen pasar. Pengelolaan APBN yang kurang transparan, terbuka, dan rasional juga menjadi sumber kekhawatiran. Kritik publik terhadap masalah utang seringkali ditanggapi dengan penolakan dan pengabaian terhadap masukan dari para ahli dan pengamat ekonomi. Keterlambatan pengumuman defisit penerimaan APBN juga mencerminkan pengelolaan APBN yang kurang hati-hati.

Pasar melihat kebijakan fiskal saat ini sebagai ancaman terhadap stabilitas makroekonomi, termasuk pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar. Investor memilih untuk menarik diri lebih awal daripada menghadapi risiko kerugian modal yang besar.

Rekomendasi dan Konsekuensi

Sumber masalah sudah jelas, dan pemerintah perlu membuka diri untuk melakukan perbaikan. Jika tidak, kepercayaan pasar akan terus merosot dan investasi di Indonesia akan terganggu. Investor, baik asing maupun domestik, akan bersikap wait and see, yang berarti investasi akan stagnan. Arus modal keluar dapat menggerus likuiditas dan menekan nilai tukar rupiah.

Sektor riil, terutama sektor industri hilirisasi, akan menghadapi kesulitan pendanaan. Emiten yang berencana menggalang dana melalui pasar modal (IPO, rights issue) kemungkinan akan menunda aksi korporasi mereka karena valuasi yang melemah. Sektor riil tidak akan mendapatkan kucuran dana yang cukup. Target pertumbuhan ekonomi yang ambisius perlu ditinjau kembali. Pemerintah perlu bekerja sama dengan pasar dan merumuskan kebijakan yang lebih akomodatif.

Oleh Didik J Rachbini, Guru Besar dan ekonom senior INDEF