Masjid Mubaroq Liya: Lima Abad Dakwah Islam di Jantung Wakatobi

Wakatobi, surga bawah laut Sulawesi Tenggara, menyimpan pesona lain yang tak kalah memukau: Masjid Mubaroq, atau lebih dikenal sebagai Masjid Keraton Liya. Bangunan bersejarah ini bukan sekadar tempat ibadah, melainkan saksi bisu perjalanan dakwah Islam yang telah berlangsung selama lima abad di kepulauan Wangi-Wangi dan sekitarnya.

Jejak Ulama Buton di Bumi Wakatobi

Menurut penuturan Saliadi, pengurus masjid yang juga merupakan tokoh masyarakat setempat, Masjid Keraton Liya didirikan pada tahun 1546 oleh La Djilabu, seorang ulama dari Kesultanan Buton. Kedatangan La Djilabu ke wilayah Liya Wakatobi membawa misi mulia: menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat setempat. Pilihan lokasi pendirian masjid pun tak lepas dari kearifan lokal. Dahulu, area tersebut dipenuhi pohon korame, yang dalam bahasa setempat berarti "bakalan ramai." Nama ini diyakini menjadi pertanda bahwa tempat tersebut akan menjadi pusat kegiatan dan berkumpulnya umat Islam.

Arsitektur Unik: Simbol Kemuliaan dan Kekokohan

Memasuki kompleks Masjid Keraton Liya, pengunjung akan disambut oleh benteng kokoh yang mengelilingi area seluas 52,9 hektar. Masjid ini dibangun menggunakan material utama batu kapur yang direkatkan dengan putih telur, sebuah teknik konstruksi tradisional yang menunjukkan keahlian para pembangun pada masa itu. Pondasi masjid yang menjulang setinggi dua meter bukan hanya berfungsi sebagai penopang bangunan, tetapi juga melambangkan kemuliaan rumah ibadah. Ketinggian pondasi ini menjadi pembeda utama dengan bangunan rumah tinggal, sebagai penanda bahwa masjid adalah tempat yang dihormati dan dimuliakan.

Di bagian dalam masjid, berdiri tegak empat tiang utama yang melambangkan empat sahabat Nabi Muhammad SAW. Kehadiran tiang-tiang ini menjadi pengingat akan nilai-nilai persahabatan, persaudaraan, dan kebersamaan yang menjadi fondasi ajaran Islam. Selain itu, masjid ini juga menyimpan artefak bersejarah berupa bedug tua. Sayangnya, bedug tersebut kini hanya menjadi pajangan karena usianya yang sudah sangat tua dan tidak memungkinkan untuk digunakan kembali.

Warisan yang Terus Hidup

Meski telah berdiri selama lima abad, Masjid Keraton Liya tetap menjadi pusat kegiatan ibadah bagi masyarakat Wakatobi. Suasana khusyuk dan nilai sejarah yang terkandung di dalamnya menjadi daya tarik tersendiri bagi para jamaah. Amran, seorang warga setempat, mengaku senang beribadah di masjid ini karena merasakan jejak syiar Islam yang masih terus terjaga.

Pengakuan terhadap nilai sejarah dan budaya Masjid Keraton Liya semakin diperkuat dengan penetapannya sebagai situs cagar budaya berdasarkan Keputusan Bupati Wakatobi Nomor 11 Tahun 2022. Penetapan ini juga mencakup Benteng Liya sebagai bagian dari situs bersejarah yang dilindungi di Kabupaten Wakatobi. Meskipun telah mengalami beberapa kali pemugaran, struktur bangunan masjid tetap dijaga keasliannya, menjadikannya warisan berharga yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan sejarah Islam di Indonesia.

Daya Tarik Wisata Religi

Selain nilai sejarah dan budayanya, Masjid Keraton Liya juga berpotensi menjadi daya tarik wisata religi di Wakatobi. Keunikan arsitektur, suasana spiritual yang kental, dan kisah sejarah yang menyertainya dapat menarik minat wisatawan untuk berkunjung dan mempelajari lebih dalam tentang peradaban Islam di wilayah tersebut. Dengan pengelolaan yang baik, Masjid Keraton Liya dapat menjadi destinasi wisata yang tidak hanya memberikan pengalaman spiritual, tetapi juga edukasi sejarah dan budaya yang berharga.