Revisi UU TNI: Akses Publik Terbatas, Legitimasi Proses Dipertanyakan

Revisi UU TNI: Akses Publik Terbatas, Legitimasi Proses Dipertanyakan

Jakarta - Proses legislasi Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai sorotan tajam terkait transparansi dan partisipasi publik. Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, secara terbuka mempertanyakan mengapa draf RUU yang krusial ini sulit diakses oleh masyarakat luas. Pertanyaan ini muncul menjelang pengesahan RUU tersebut menjadi Undang-Undang (UU) dalam rapat paripurna DPR RI.

Bivitri menekankan pentingnya keterbukaan informasi dalam proses pembuatan undang-undang. Menurutnya, draf RUU seharusnya tersedia secara bebas di situs web resmi DPR RI, memungkinkan masyarakat untuk mempelajari dan memberikan masukan. Keterbatasan akses ini menimbulkan kecurigaan dan keraguan terkait substansi dan tujuan dari revisi UU TNI.

"Seharusnya, itu kan ada di website DPR, yang normalnya kan harusnya begitu. Kenapa yang ini bahkan besok mau diketuk, publik belum tahu. Memangnya serahasia apa?" ungkap Bivitri dalam sebuah diskusi publik, menyoroti kejanggalan dalam proses legislasi RUU TNI.

Kekhawatiran Dwifungsi TNI Mencuat

Salah satu isu yang menjadi perhatian utama publik adalah potensi kembalinya dwifungsi TNI melalui RUU ini. Kekhawatiran ini muncul karena adanya indikasi bahwa revisi tersebut memperluas peluang bagi prajurit TNI aktif untuk menduduki jabatan sipil. Hal ini memicu perdebatan mengenai batas-batas peran TNI dalam kehidupan sipil dan potensi tumpang tindih kewenangan.

Bivitri juga mengkritik sikap DPR yang meragukan keabsahan draf RUU yang beredar di masyarakat. Ketidakjelasan ini memperburuk situasi dan menyulitkan publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya.

"Sampai barusan saya masih berdebat sama teman, jadi mana nih yang draf terakhir. Nggak jelas, karena kami dapat dari WhatsApp. Karena ini undang-undang levelnya, bukan strategi pertahanan gitu ya. Nah, ini yang saya kira harus kita baca," jelasnya.

Proses Legislasi Dianggap Cacat

Berdasarkan berbagai kejanggalan tersebut, Bivitri menilai bahwa proses revisi UU TNI cacat secara hukum. Ia menyoroti kecepatan dan ketergesaan dalam penyusunan RUU ini, yang dinilai tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi partisipasi publik dan pembahasan yang mendalam.

"Memang proses legislasinya juga cacat. Ada problem besar," tegasnya.

RUU TNI dijadwalkan untuk disahkan dalam rapat paripurna DPR RI. Namun, kekhawatiran publik mengenai potensi kembalinya dwifungsi TNI tetap menjadi isu yang sensitif. Meskipun ada bantahan dari pihak Istana Kepresidenan, keraguan dan pertanyaan mengenai arah dan tujuan revisi UU TNI masih belum sepenuhnya terjawab.

Bantahan Istana Kepresidenan

Kepala Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, telah membantah tudingan bahwa RUU TNI akan menghidupkan kembali dwifungsi TNI. Ia menegaskan bahwa pasal-pasal yang dikhawatirkan oleh publik tidak ada dalam draf RUU tersebut. Hasan juga berpendapat bahwa kekhawatiran LSM tidak beralasan.

"Pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada, itu terbukti tidak ada. Bahwa kecurigaan teman-teman NGO, LSM itu tidak beralasan karena itu tidak ada," kata Hasan.

Lebih lanjut, Hasan menjelaskan bahwa RUU TNI justru akan mempersempit ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil. Ia mengklaim bahwa jabatan-jabatan yang diisi oleh TNI memiliki korelasi dengan tugas dan fungsi TNI.

"Karena posisi-posisi, nggak di-open posisi-posisi untuk TNI, enggak di-open, tapi dikunci. Dikunci ke-15 posisi yang memang memerlukan ekspertisnya mereka. Memerlukan keahliannya mereka dan beririsan ruang kerja dengan ekspertis mereka," pungkas Hasan.

Namun, terlepas dari bantahan tersebut, pertanyaan mengenai transparansi, partisipasi publik, dan potensi implikasi dari revisi UU TNI tetap menjadi perhatian utama. Masyarakat sipil dan pengamat hukum terus mendesak agar proses legislasi dilakukan secara terbuka dan akuntabel, serta memastikan bahwa UU yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan seluruh bangsa.

Catatan: Berita ini bersifat hipotetis dan didasarkan pada informasi yang tersedia dalam input yang diberikan.