Alih Fungsi Lahan di Puncak: PTPN Akui Kelalaian Picu Banjir dan Pelanggaran Tata Ruang

PTPN Akui Kelalaian dalam Pengelolaan Lahan di Puncak, Picu Banjir dan Pelanggaran Tata Ruang

Jakarta - Direktur Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III, Muhammad Abdul Ghani, mengakui adanya kelalaian dalam pengelolaan lahan di kawasan Puncak, Bogor, yang berkontribusi terhadap banjir besar yang melanda Jabodetabek pada awal Maret lalu. Pengakuan ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Rabu (19/3/2025), di Jakarta.

"Memang dengan kejadian awal Maret, terjadinya banjir besar menyadarkan kami bahwa ada sesuatu yang kami lalai," ungkap Abdul Ghani.

Kelalaian tersebut terkait dengan alih fungsi lahan perkebunan menjadi kawasan vila dan tempat wisata yang melanggar ketentuan Koefisien Wilayah Terbangun (KWT) yang ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor. Sesuai aturan, pembangunan di kawasan resapan air seperti Puncak seharusnya membatasi wilayah terbangun maksimal 30% dari total luas lahan.

Luas Lahan dan Okupansi Ilegal

Total Hak Guna Usaha (HGU) PTPN di kawasan Gunung Mas mencapai 1.623 hektare. Dari jumlah tersebut, sekitar 500 hektare (31%) telah terokupansi secara ilegal, baik untuk lahan pertanian sayuran maupun pembangunan vila-vila liar. Pengelolaan lahan di Gunung Mas sebelumnya berada di bawah PTPN VIII, namun sejak Desember 2023 beralih ke PTPN III. Proses kerja sama alih fungsi lahan sendiri sudah berlangsung sejak era PTPN VIII.

Abdul Ghani menjelaskan bahwa PTPN hanya menunjuk mitra untuk mengelola lahan, namun tidak secara ketat mengawasi proses perizinan yang seharusnya menjadi tanggung jawab mitra. "Jadi di situlah kesalahan dan di beberapa tempat ada delapan itu yang kemarin dikasih surat peringatan itu. Jadi kami hanya ingin melaporkan kepada Bapak sekalian, memang di situlah kesalahan PTPN, kita hanya memberikan, menunjuk mitra, tapi dengan catatan mitra harus mengurus izinnya," jelasnya.

Kasus Hibisc Fantasy Puncak

Salah satu contoh pelanggaran yang disorot adalah kerja sama PTPN dengan PT Jaswita Jabar dalam pembangunan Hibisc Fantasy Puncak. Taman hiburan ini, yang dikelola oleh anak perusahaan BUMD PT Jaswita Lestari bersama PT Bajo Tibra Jaya, terbukti melanggar aturan alih fungsi lahan. Area yang seharusnya dibangun seluas 4.138 meter persegi, namun terealisasi hingga 21.000 meter persegi, sehingga terdapat pelanggaran seluas 16.900 meter persegi.

Abdul Ghani mengakui bahwa pelanggaran yang dilakukan PT Jaswita merupakan konsekuensi dari kelalaian PTPN dalam mengelola lahan yang dikerjasamakan dengan mitra. Ia menegaskan bahwa ke depannya, PTPN akan lebih bertanggung jawab dan memastikan bahwa mitra mematuhi seluruh aturan perizinan dan lingkungan yang berlaku.

"Kesalahan PTPN ini kami koreksi diri, mestinya PTPN juga tidak lepas tangan ke depan," tegas Ghani.

Tindakan Tegas dan Penertiban

Sebelumnya, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Bogor telah menerbitkan izin Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) pada Januari 2024 setelah memastikan persyaratan teknis terpenuhi. Namun, dalam dokumen PBG, Pemkab Bogor mewajibkan pembangunan yang ramah lingkungan dengan fasilitas seperti resapan air, sumur biopori, dan sumur resapan. Ketentuan ini tidak sepenuhnya dipatuhi oleh pihak pengelola.

Teguran telah dilayangkan beberapa kali sejak Agustus 2024, dan penyegelan telah dilakukan dua kali, terakhir pada Desember 2024. Puncaknya, Hibisc Fantasy Puncak dirobohkan oleh Gubernur Jawa Barat bersama Kementerian Lingkungan Hidup. Selain Hibisc, sebanyak 12 tempat wisata lain juga disegel.

PTPN berencana untuk menyelesaikan masalah ini dan telah mendapatkan dukungan dari Menteri ATR/BPN untuk melakukan penertiban. Langkah awal yang akan dilakukan adalah menertibkan bangunan-bangunan yang berdiri tanpa izin.

Daftar Pelanggaran dan Tindakan Penertiban:

  • Pelanggaran KWT: Pembangunan melebihi batas wilayah terbangun yang diizinkan.
  • Okupansi Lahan Ilegal: Pemanfaatan lahan HGU PTPN tanpa izin yang sah.
  • Pelanggaran Izin PBG: Tidak mematuhi ketentuan pembangunan ramah lingkungan.
  • Tindakan Penertiban: Penyegelan dan perobohan bangunan ilegal.

Dampak Lingkungan:

  • Banjir: Alih fungsi lahan mengurangi daerah resapan air, memperparah risiko banjir.
  • Kerusakan Lingkungan: Pembangunan yang tidak terkendali merusak ekosistem Puncak.

Langkah Selanjutnya:

  • Penertiban Bangunan Ilegal: PTPN bekerja sama dengan pemerintah untuk menertibkan bangunan yang tidak memiliki izin.
  • Pengawasan Ketat: PTPN akan lebih ketat dalam mengawasi mitra yang mengelola lahan.
  • Pemulihan Lingkungan: Upaya pemulihan daerah resapan air untuk mengurangi risiko banjir.