Komnas Perempuan Serukan Penundaan Pengesahan RUU TNI: Sorotan pada Partisipasi Publik dan Tata Kelola yang Demokratis

Komnas Perempuan Serukan Penundaan Pengesahan RUU TNI: Sorotan pada Partisipasi Publik dan Tata Kelola yang Demokratis

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dan pemerintah untuk menangguhkan pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI). Desakan ini disampaikan menjelang jadwal pengesahan yang direncanakan pada hari Kamis, 20 Maret 2025.

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, dalam keterangan persnya, menekankan pentingnya penundaan ini. Beliau mendorong DPR RI untuk menangguhkan pengesahan dan membangun proses legislasi yang lebih partisipatif dan inklusif. Tujuannya adalah untuk memastikan revisi UU TNI selaras dengan agenda reformasi sektor keamanan yang integral dan semangat reformasi itu sendiri. Komnas Perempuan berpendapat bahwa revisi UU TNI ini harus menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk memodernisasi dan meningkatkan akuntabilitas sektor keamanan Indonesia.

Komnas Perempuan merekomendasikan agar pembahasan revisi UU TNI dilaksanakan dengan prinsip kehati-hatian dan ketelitian (due diligence), terutama dalam hal perluasan fungsi dan batas usia pensiun prajurit. Hal ini penting untuk:

  • Memperkuat tata kelola pemerintahan yang demokratis.
  • Mencegah tumpang tindih kewenangan antara TNI dan Kepolisian.
  • Mengatasi tantangan profesionalisme dan akuntabilitas TNI.
  • Menanggapi kebutuhan afirmasi berperspektif HAM, termasuk penguatan kepemimpinan perempuan di sektor pertahanan.

Lebih lanjut, Komnas Perempuan menekankan bahwa revisi UU TNI seharusnya mengedepankan mekanisme sipil yang transparan, akuntabel, dan berbasis HAM, daripada pendekatan militer dan penanganan konflik domestik. Pengalaman menunjukkan bahwa masalah kekerasan dalam situasi konflik seringkali berakar pada kegagalan memenuhi hak-hak masyarakat dalam perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, pembahasan revisi UU TNI harus selaras dengan upaya memajukan HAM dan menggunakan pendekatan mekanisme sipil.

Mencegah Eskalasi Kekerasan dan Melindungi Hak Perempuan

Pendekatan mekanisme sipil ini dimaksudkan untuk mencegah eskalasi kekerasan di wilayah konflik. Hal ini krusial untuk mencegah eskalasi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan untuk menjamin perlindungan hak-hak perempuan yang terdampak konflik. Komnas Perempuan menyoroti bahwa perempuan seringkali menjadi korban utama dalam situasi konflik, dan revisi UU TNI harus mempertimbangkan perlindungan hak-hak mereka.

Revisi UU TNI menjadi perhatian serius karena sejumlah pasal yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil. Pasal-pasal tersebut mencakup isu-isu sensitif seperti usia pensiun prajurit, penambahan tugas operasi militer selain perang, dan perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit TNI aktif. Kelompok masyarakat sipil khawatir bahwa pasal-pasal ini dapat mengancam supremasi sipil dan akuntabilitas TNI.

Dengan demikian, seruan Komnas Perempuan untuk menunda pengesahan RUU TNI mencerminkan kekhawatiran yang lebih luas tentang perlunya proses legislasi yang partisipatif, inklusif, dan selaras dengan prinsip-prinsip HAM. Penundaan ini memberikan kesempatan untuk mempertimbangkan kembali pasal-pasal yang kontroversial dan memastikan bahwa revisi UU TNI berkontribusi pada penguatan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan perlindungan hak-hak semua warga negara, termasuk perempuan.