Polemik RUU TNI: Akses Terbatas Picu Misinformasi, DPR Didesak Transparan

Kontroversi RUU TNI: Kurangnya Transparansi Memicu Kekhawatiran Publik

Jakarta - Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menuai polemik di tengah masyarakat. Kurangnya aksesibilitas terhadap draf RUU terbaru menjadi sorotan utama, memicu kekhawatiran dan interpretasi yang beragam. Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, mengkritik keras sikap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terkesan menyalahkan masyarakat sipil atas kesalahpahaman yang muncul.

"Jangan salahkan masyarakat jika mereka membaca draf yang salah," tegas Bivitri dalam sebuah forum diskusi. Ia mempertanyakan bagaimana masyarakat dapat memberikan masukan yang konstruktif jika draf resmi RUU tidak pernah dipublikasikan secara luas. Menurutnya, DPR seharusnya membuka akses seluas-luasnya terhadap draf RUU, sesuai dengan prinsip partisipasi publik yang bermakna dan transparan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Bivitri menambahkan, "Bagaimana orang bisa berpartisipasi jika tidak memiliki draf yang resmi? Ini adalah prasyarat yang diatur dalam undang-undang yang juga disahkan oleh DPR sendiri, namun tampaknya tidak dilaksanakan."

Menanggapi kritik tersebut, Anggota Komisi I DPR RI, Oleh Soleh, mengakui adanya kendala dalam akses data. Ia menyatakan bahwa kekhawatiran masyarakat terkait potensi kembalinya dwifungsi TNI juga dirasakan oleh para wakil rakyat. Oleh berjanji akan menindaklanjuti masalah akses data ini, meskipun ia juga menyinggung adanya pertimbangan lain terkait kerahasiaan mengingat isu yang sensitif dan potensi multitafsir.

Kekhawatiran Dwifungsi TNI Mencuat

RUU TNI ini rencananya akan segera disahkan dalam rapat paripurna DPR. Salah satu poin yang menjadi perhatian publik adalah potensi perluasan jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya dwifungsi TNI, sebuah konsep yang pernah menjadi kontroversi di masa lalu.

Namun, pihak Istana Kepresidenan melalui Kepala Komunikasi Kepresidenan/PCO Hasan Nasbi membantah tudingan tersebut. Hasan menegaskan bahwa RUU TNI justru akan membatasi jumlah jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Ia menjelaskan bahwa jabatan-jabatan tersebut hanya akan diisi oleh personel TNI yang memiliki keahlian dan relevansi dengan tugas dan fungsi jabatan tersebut.

"Pasal yang dicurigai akan ada, ayat yang dicurigai akan ada, itu terbukti tidak ada," ujar Hasan. Ia menilai bahwa kecurigaan dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tidak beralasan.

Daftar Jabatan yang Dibatasi:

  • Posisi di Kementerian Pertahanan
  • Posisi di Badan Intelijen Negara (BIN)
  • Posisi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas)

Mendesak Transparansi dan Partisipasi Publik

Terlepas dari bantahan pemerintah, desakan untuk transparansi dan partisipasi publik dalam pembahasan RUU TNI terus bergulir. Masyarakat sipil berharap DPR dan pemerintah dapat membuka diri terhadap masukan dan kritik, sehingga RUU yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kepentingan bangsa dan negara.

Kesimpulan

Polemik RUU TNI menyoroti pentingnya transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi. Kurangnya akses terhadap draf RUU telah memicu misinformasi dan kekhawatiran di masyarakat. DPR dan pemerintah perlu mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa RUU ini dibahas secara terbuka dan inklusif, sehingga menghasilkan regulasi yang legitimate dan akuntabel.