Revisi UU TNI: Gerindra Pastikan Penguatan Pertahanan Nasional Tanpa Mengorbankan Supremasi Sipil
Revisi UU TNI: Gerindra Pastikan Penguatan Pertahanan Nasional Tanpa Mengorbankan Supremasi Sipil
Fraksi Gerindra di DPR RI menegaskan komitmennya terhadap revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), dengan jaminan bahwa perubahan tersebut akan memperkuat pertahanan negara tanpa mengabaikan prinsip supremasi sipil dan semangat reformasi. Ketua Fraksi Gerindra, Budisatrio Djiwandono, meyakinkan publik bahwa revisi ini merupakan adaptasi terhadap dinamika pertahanan modern dan tidak mengancam fondasi demokrasi.
"Revisi ini bukan kemunduran, melainkan respons terhadap kebutuhan pertahanan yang berkembang," tegas Budisatrio dalam keterangan persnya. "Kami memastikan supremasi sipil tetap menjadi pilar utama, tanpa ada upaya militerisasi ranah sipil dan politik. DPR akan terus menjalankan fungsi pengawasan sesuai dengan kewenangannya."
Fokus Revisi UU TNI:
-
Pasal 3: Kedudukan TNI dalam Sistem Pertahanan Negara Revisi ini memperjelas posisi TNI dalam Kementerian Pertahanan (Kemhan), menegaskan bahwa TNI berada di dalam Kemhan, bukan di bawahnya. Tujuannya adalah untuk memastikan TNI memiliki otoritas yang memadai dalam aspek pertahanan, tanpa mengubah mekanisme komando yang ada. Koordinasi antara TNI dan Kemhan akan mencakup kebijakan, strategi pertahanan, dan dukungan administrasi dalam perencanaan strategis, sementara operasional tetap menjadi ranah TNI.
-
Pasal 7: Penambahan Tugas Pokok TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) Revisi memperluas cakupan OMSP, terutama dalam menghadapi ancaman siber dan perlindungan WNI di luar negeri. TNI akan berperan dalam menanggulangi serangan siber dan melindungi WNI serta kepentingan nasional di luar negeri dalam situasi darurat atau konflik bersenjata. Operasi OMSP yang melibatkan pertempuran, seperti penanganan separatisme, akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan wajib dilaporkan ke DPR sebelum dilaksanakan. Jika DPR tidak menyetujui, operasi harus dihentikan.
-
Pasal 47: Perluasan Penempatan Prajurit Aktif di K/L Jumlah kementerian/lembaga (K/L) yang dapat ditempati prajurit aktif akan ditambah dari 10 menjadi 15. K/L yang ditambahkan meliputi: Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut (Bakamla), Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kejaksaan Agung, dan Sekretariat Presiden. Penempatan ini memiliki keterkaitan langsung dengan sektor pertahanan dan keamanan nasional serta bertujuan memberikan payung hukum yang jelas. Prajurit aktif tidak boleh berbisnis, dan jika ada yang bergabung di luar 15 K/L yang ditentukan, mereka wajib pensiun.
-
Pasal 53: Perpanjangan Usia Pensiun Prajurit Revisi ini meningkatkan batas usia pensiun prajurit. Usia pensiun tamtama dan bintara akan dinaikkan menjadi 55 tahun, perwira hingga pangkat Kolonel menjadi 58 tahun, dan perwira tinggi berjenjang dari 60 hingga 62 tahun. Untuk perwira tinggi bintang 4, usia pensiun adalah 63 tahun dan dapat diperpanjang maksimal dua kali hingga 65 tahun. Hal ini dilakukan tanpa mengorbankan proses regenerasi di tubuh TNI.
Budisatrio menekankan bahwa revisi ini bukan untuk mengambil alih tugas Polri atau institusi penegak hukum lainnya, melainkan untuk memperkuat pertahanan negara terhadap ancaman baru. Penempatan prajurit TNI di K/L yang relevan bertujuan untuk meningkatkan sinergi dan efektivitas dalam menghadapi ancaman pertahanan nasional. Revisi ini juga memberikan kepastian hukum bagi prajurit yang bertugas di K/L tersebut.
"Ini bukan militerisasi, tetapi penguatan sinergi dalam menghadapi ancaman pertahanan nasional," tegasnya.
Revisi UU TNI ini diharapkan dapat meningkatkan kesiapan dan kemampuan TNI dalam menghadapi tantangan pertahanan modern, sekaligus memastikan kesejahteraan prajurit dan menjaga supremasi sipil dalam pengelolaan negara.