Respons DPR atas Gelombang Protes UU TNI: Puan Maharani Tawarkan Dialog dan Jaminan

Gelombang demonstrasi yang mewarnai pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) di depan Gedung DPR RI mendapat respons dari Ketua DPR RI, Puan Maharani. Menanggapi aksi unjuk rasa tersebut, Puan menawarkan dialog konstruktif dan jaminan bahwa kekhawatiran publik terkait UU TNI akan diakomodasi.

"Kami siap memberikan penjelasan kepada adik-adik mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya yang mungkin masih memiliki pertanyaan atau membutuhkan informasi lebih lanjut mengenai UU TNI," ujar Puan usai rapat paripurna di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). "Kami membuka diri untuk berdiskusi dan menjernihkan segala kesalahpahaman yang mungkin timbul."

Puan menegaskan bahwa DPR telah mempertimbangkan berbagai masukan dan aspirasi dari berbagai elemen masyarakat dalam proses pembahasan RUU TNI. Ia meyakinkan bahwa UU TNI yang baru disahkan bertujuan untuk memperkuat peran TNI dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara, tanpa mengabaikan prinsip supremasi sipil, hak asasi manusia, dan reformasi sektor keamanan.

"Kami memahami adanya kekhawatiran terkait potensi penyalahgunaan wewenang atau tumpang tindih kewenangan antara TNI dan lembaga sipil," kata Puan. "Namun, kami menjamin bahwa mekanisme pengawasan yang ketat akan diterapkan untuk mencegah hal tersebut terjadi. UU TNI ini dirancang untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan untuk kepentingan kelompok tertentu."

Lebih lanjut, Puan menepis anggapan bahwa UU TNI memberikan kewenangan kepada TNI untuk terlibat dalam pengawasan aksi demonstrasi. Ia menegaskan bahwa TNI tetap berpegang pada prinsip supremasi sipil dan menghormati hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

"Tidak ada ketentuan dalam UU TNI yang mengatur tentang pengawasan aksi demonstrasi oleh TNI," tegas Puan. "Tugas TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan keamanan nasional dari ancaman eksternal. Pengawasan aksi demonstrasi tetap menjadi wewenang kepolisian."

Pengesahan RUU TNI menjadi UU sendiri diwarnai aksi unjuk rasa oleh berbagai elemen masyarakat sipil. Mereka menyoroti sejumlah pasal yang dianggap kontroversial, seperti pasal yang mengatur penempatan personel TNI aktif di jabatan sipil dan pasal yang mengatur operasi militer selain perang.

Satya, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Reformasi Sektor Keamanan, menyatakan penolakannya terhadap pengesahan UU TNI. Ia menilai bahwa UU tersebut masih mengandung banyak pasal bermasalah yang berpotensi mengancam supremasi sipil dan reformasi sektor keamanan.

"Kami menolak pasal 47 yang memperluas penempatan personel militer aktif di jabatan sipil," ujar Satya. "Selain itu, kami juga menyoroti pasal yang mengatur operasi militer selain perang tanpa kontrol sipil yang memadai. Pasal-pasal ini berpotensi disalahgunakan dan mengancam hak-hak sipil."

Poin-poin yang menjadi sorotan dalam UU TNI:

  • Penempatan personel TNI aktif di jabatan sipil: Pasal ini memungkinkan penempatan personel TNI aktif di jabatan sipil tertentu, yang dikhawatirkan dapat mengganggu profesionalisme TNI dan mengancam supremasi sipil.
  • Operasi militer selain perang: Pasal ini mengatur tentang operasi militer selain perang yang dapat dilakukan oleh TNI. Namun, minimnya kontrol sipil dalam pelaksanaan operasi ini dikhawatirkan dapat menyebabkan penyalahgunaan wewenang.

Pemerintah dan DPR berjanji akan terus membuka dialog dengan masyarakat sipil untuk membahas lebih lanjut mengenai UU TNI dan mencari solusi atas berbagai kekhawatiran yang muncul. Diharapkan, UU TNI ini dapat menjadi landasan yang kuat bagi TNI dalam menjalankan tugasnya menjaga kedaulatan dan keamanan negara, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.