Bubur Muhdor: Legenda Kuliner Ramadan di Tuban yang Menggugah Selera
Bubur Muhdor: Warisan Kuliner Ramadan di Tuban
Ramadan di Tuban identik dengan aroma rempah yang menguar dari Masjid Muhdor, Kelurahan Kutorejo. Di sanalah, ratusan warga rela mengantre demi menikmati Bubur Muhdor, sajian berbuka puasa legendaris yang telah menjadi tradisi turun-temurun selama lebih dari delapan dekade. Keunikannya terletak pada cita rasa gurih dan lezat yang dihasilkan dari perpaduan beras berkualitas, santan kelapa yang kental, daging kambing pilihan, dan racikan rempah-rempah khas Timur Tengah yang dirahasiakan. Tidak mengherankan jika bubur ini menjadi rebutan warga Tuban, bahkan menarik minat pengunjung dari luar kota.
Tradisi berbagi Bubur Muhdor ini dimulai sejak tahun 1937 oleh Syeikh Habib Abdul Qodir bin Alwi Assegaf, tokoh terkemuka keturunan Arab. Pada masa penjajahan Belanda, ketika krisis pangan melanda, beliau berinisiatif membuat bubur ini untuk membantu masyarakat yang kurang mampu. Awalnya, pembuatan bubur ini dilakukan secara gotong royong, dengan warga berpartisipasi dalam pengadaan bahan baku. Namun, seiring berjalannya waktu, Bubur Muhdor kini mendapatkan dukungan investor sehingga dapat diproduksi dalam skala yang lebih besar, menjangkau lebih banyak masyarakat yang membutuhkan.
Proses Pembuatan dan Distribusi:
Proses pembuatan Bubur Muhdor membutuhkan waktu sekitar 2 hingga 3 jam. Bahan baku utama meliputi 50 kilogram beras, santan kelapa, daging kambing, dan rempah-rempah rahasia yang memberikan cita rasa khas Timur Tengah. Perbedaan signifikan terlihat pada metode memasak, dari penggunaan kayu bakar pada masa awal hingga penggunaan gas elpiji saat ini. Meski metode memasak telah berubah, komitmen untuk menjaga kualitas dan cita rasa tetap dipertahankan. Distribusi bubur dilakukan setiap sore menjelang berbuka puasa. Ratusan warga sabar mengantre dengan tertib, membawa berbagai wadah mulai dari panci, ember hingga timba, sejak pukul 16.00 WIB. Kehadiran mereka, terutama para jemaah yang menjalankan ibadah puasa, menunjukkan betapa Bubur Muhdor telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ramadan di Tuban.
Kisah di Balik Semangkuk Bubur:
Kaffi (10), warga Kelurahan Kutorejo, menggambarkan antusiasme warga Tuban terhadap Bubur Muhdor. Baginya, rasa gurih dan sensasi daging kambing yang terasa dalam setiap suapan merupakan daya tarik tersendiri. “Rasa Bubur Muhdor enak, ada rasa daging kambing gule. Setiap bulan Ramadan pasti ke sini untuk ikut mengantre Bubur Muhdor,” ujarnya kepada detikJatim, Senin (3/3). Kisah Kaffi menggambarkan betapa Bubur Muhdor bukan sekadar makanan, melainkan sebuah tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi, mempererat ikatan sosial dan memperkaya khazanah kuliner Indonesia.
Alwi Ba’agil, remaja Masjid Muhdor, menambahkan bahwa setiap produksi Bubur Muhdor mencapai 50 kilogram. Bubur ini disajikan secara gratis, baik untuk berbuka puasa maupun setelah Salat Tarawih. Keberlanjutan tradisi ini menunjukkan komitmen untuk berbagi dan melestarikan warisan budaya kuliner yang sarat makna bagi masyarakat Tuban. Bubur Muhdor tidak hanya sekadar sajian kuliner, tetapi juga lambang kedermawanan dan semangat persatuan di bulan Ramadan.