Independensi Bank Indonesia dalam Sorotan: Revisi UU P2SK Picu Perdebatan
Independensi Bank Indonesia dalam Sorotan: Revisi UU P2SK Picu Perdebatan
Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) kembali menjadi sorotan, memicu perdebatan mengenai potensi dampaknya terhadap independensi Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral. Meskipun BI menegaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk memperjelas perannya dalam menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, sejumlah pihak menyuarakan kekhawatiran terkait independensi lembaga tersebut.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers yang digelar pada Rabu (19/3/2025), menjelaskan bahwa revisi UU P2SK lebih merupakan penegasan peran BI dan tidak mengubah tujuan utama yang tercantum dalam Pasal 7 UU tersebut. Pasal 7 menyebutkan bahwa BI bertugas menjaga stabilitas nilai rupiah, sistem pembayaran, dan sistem keuangan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
"Ini hanya penegasan dalam UU P2SK. Tidak mengubah tujuan utama dalam Pasal 7. Justru lebih memperjelas bahwa pertumbuhan ekonomi berkelanjutan mencakup stabilitas, pertumbuhan, dan penciptaan lapangan kerja," tegas Perry.
Sinergi Kebijakan dan Pembelian SBN
Lebih lanjut, Perry menekankan pentingnya sinergi kebijakan antara BI dengan kebijakan fiskal dan sektor riil pemerintah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Terkait dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dianggap oleh sebagian pihak dapat mengganggu independensi BI, Perry menegaskan bahwa kebijakan tersebut tetap berada dalam koridor kebijakan moneter.
"Kami pastikan pembelian SBN tetap sesuai arah kebijakan moneter. Ekspansi likuiditas diperlukan untuk menjaga stabilitas rupiah," jelasnya.
BI mencatat bahwa hingga 18 Maret 2025, pembelian SBN telah mencapai Rp 70,7 triliun, dengan rincian Rp 47,3 triliun di pasar sekunder dan Rp 23,4 triliun di pasar primer.
Tanggapan DPR dan Kritik dari Yunus Husein
Komisi XI DPR saat ini tengah membahas revisi UU P2SK sebagai respons terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua Komisi XI, Mukhamad Misbakhun, menjelaskan bahwa revisi ini bertujuan untuk menyesuaikan aturan mengenai penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
"Revisinya terbatas karena ini perintah MK. Tidak ada pembahasan lain," kata Misbakhun.
Namun, pandangan berbeda disampaikan oleh mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Yunus Husein. Menurutnya, revisi UU P2SK seharusnya mempertimbangkan peran dan fungsi BI secara lebih luas. Yunus menyoroti praktik burden sharing yang dilakukan BI, termasuk quantitative easing dan pembelian SBN di pasar perdana, yang menurutnya telah menyimpang dari UU BI yang asli.
Potensi Risiko Pembelian SBN
Praktik pembelian SBN oleh BI di pasar perdana pernah dilakukan selama periode 2020-2022 sebagai respons terhadap ancaman stabilitas ekonomi akibat pandemi COVID-19. Kebijakan ini diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 mengenai kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan. Pasal 36A UU P2SK memberikan wewenang kepada BI untuk membeli SBN jangka panjang di pasar perdana jika terjadi krisis ekonomi, berdasarkan ketetapan Presiden.
Yunus Husein mengingatkan potensi penyalahgunaan kebijakan ini.
"SBN di pasar primer tidak memiliki underlying asset. Jika BI terus membeli SBN, ada risiko uangnya disalahgunakan untuk kepentingan politik," pungkasnya.
Perdebatan mengenai revisi UU P2SK dan independensi BI ini menjadi krusial mengingat peran sentral BI dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Implikasi dari revisi ini perlu dikaji secara mendalam untuk memastikan bahwa BI tetap dapat menjalankan fungsinya secara efektif dan independen.
Poin-poin penting yang perlu diperhatikan:
- Tujuan revisi UU P2SK menurut BI dan DPR
- Kekhawatiran mengenai independensi BI
- Praktik pembelian SBN oleh BI
- Potensi risiko dan penyalahgunaan kebijakan
- Pendapat dari berbagai pihak terkait revisi UU P2SK