Program 3 Juta Rumah Terganjal Kejelasan, Pengembang Pertanyakan Arah Kebijakan Pemerintah
Program 3 Juta Rumah: Simpang Siur Peran Pengembang dan Tantangan Implementasi
Jakarta, [Tanggal] - Program ambisius pemerintah, yaitu Program 3 Juta Rumah yang digagas oleh Presiden Prabowo Subianto, kini menghadapi tantangan serius terkait kejelasan implementasi dan peran pengembang. Hal ini diungkapkan oleh Ketua Umum DPP Himpunan Pengembang Permukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra), Ari Tri Piyono, dalam sebuah forum diskusi bersama Badan Aliansi Masyarakat (BAM) DPR RI.
Ari Tri Piyono mengungkapkan kebingungannya terkait skema yang ditawarkan dalam program ini. Ia mempertanyakan bagaimana target pembangunan 1 juta rumah di perkotaan, 1 juta di kawasan pesisir, dan 1 juta di pedesaan akan direalisasikan. Ketidakjelasan ini membuat para pengembang merasa gamang dan tidak yakin mengenai kontribusi apa yang diharapkan dari mereka.
"Kian hari kita semakin dibuat bingung. Lalu kami mau diajak ke mana? Apa kami bantu FLPP (fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan) atau di sisi yang lain?," ujar Ari, menyoroti kurangnya komunikasi dan koordinasi antara pemerintah dan pengembang.
Kritik Terhadap Kebijakan Harga Rumah Subsidi
Selain masalah kejelasan program, para pengembang juga mengkritik pernyataan Menteri PKP Maruarar Sirait terkait penurunan harga rumah subsidi. Di tengah kondisi pasar yang menunjukkan kenaikan harga bahan baku bangunan dan harga tanah, kebijakan ini dinilai tidak realistis dan berpotensi mengganggu keberlangsungan bisnis pengembang.
Ari berpendapat bahwa fokus utama seharusnya adalah menyediakan rumah yang layak huni dan terjangkau bagi masyarakat, bukan sekadar menawarkan rumah murah dengan kualitas yang dipertanyakan. Ia menyayangkan kurangnya respons pemerintah terhadap masukan-masukan yang telah disampaikan oleh para pengembang.
"Kita sudah kasih masukan tetapi tidak didengar. Mudah-mudahan setelah kami datang ke DPR dan bersurat (juga) ke Presiden, menterinya bisa menerima (masukan)," harap Ari.
Penolakan Terhadap Audit dan Stigma Negatif
Keputusan Kementerian PKP untuk melakukan audit terhadap perusahaan pengembang juga menuai kritik. Ari berpendapat bahwa audit ini tidak relevan karena pembangunan rumah subsidi dilakukan menggunakan belanja modal perusahaan (capex), bukan anggaran negara. Ia juga menolak stigma negatif yang kerap dilabelkan kepada pengembang, seperti tudingan "pengembang nakal".
Ari mengungkapkan kekhawatiran bahwa stigma negatif ini dapat dimanfaatkan oleh oknum aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan pemerasan. Ia mencontohkan beberapa kasus di mana pengembang dipanggil polisi dan dimintai keterangan terkait perizinan dan bahan bangunan yang digunakan.
"Sangat sulit menerima (tudingan) itu. Kenapa pengembang rumah subsidi sampai disuruh periksa. Kami kan bangun rumah, pakai uang kami sendiri, lalu kami dituduh makan uang negara itu dari mana?," tegas Ari.
Harapan dari Forum Diskusi
Forum diskusi ini dihadiri oleh lima asosiasi pengembang, yaitu Himperra, Realestat Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Asosiasi Pengembang dan Pemasar Perumahan Nasional (Asprumnas), dan Aliansi Pengembang Perumahan Nasional Jaya (Appernas Jaya). Diharapkan, forum ini dapat menjadi jembatan komunikasi antara pengembang dan pemerintah, sehingga Program 3 Juta Rumah dapat berjalan lebih efektif dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.
Daftar Masalah yang Dihadapi Pengembang:
- Ketidakjelasan skema Program 3 Juta Rumah
- Kebijakan harga rumah subsidi yang tidak realistis
- Audit perusahaan pengembang yang dianggap tidak relevan
- Stigma negatif "pengembang nakal"