Kontroversi UU TNI: Pengesahan Kilat Picu Gugatan ke MK, Partisipasi Publik Dipertanyakan
UU TNI Disahkan: Gelombang Kritik dan Potensi Gugatan ke MK Mengemuka
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia telah resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi undang-undang. Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dihadiri oleh sejumlah menteri kabinet. Namun, pengesahan ini langsung memicu reaksi keras dari berbagai elemen masyarakat, menimbulkan pertanyaan tentang proses legislasi yang transparan dan partisipatif.
Sorotan Pakar Hukum Unair: Proses Cepat dan Potensi Konflik Kepentingan
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Airlangga (Unair), Dr. Radian Salman, secara kritis menyoroti beberapa aspek krusial dalam pengesahan UU TNI ini. Salah satu poin utama yang menjadi perhatiannya adalah kecepatan proses penetapan undang-undang, yang dinilai mengabaikan prinsip partisipasi publik yang bermakna.
"Salah satu poin penting dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah partisipasi yang bermakna atau meaningful participation dalam proses pembentukan Undang-Undang. Saya melihat proses dari revisi Undang-Undang TNI itu terbilang cepat," ujar Dr. Radian. Ia menambahkan bahwa serangkaian peristiwa, termasuk keberatan dari koalisi masyarakat sipil terkait rapat tertutup DPR, mengindikasikan kurangnya meaningful participation dalam proses legislasi ini.
Dr. Radian juga menekankan pentingnya penjelasan yang rasional mengenai urgensi perubahan UU TNI dan justifikasi di balik perubahan tersebut. "Bagaimana dinamika proses dari penyikapan oleh DPR itu kan harus dibuka. Ini tidak ada hal yang emergency untuk segera ditangani, jadi artinya ini harusnya lewat proses yang lebih meaningful participation, lebih lama diperdebatkan, lebih banyak publik dilibatkan," tegasnya.
Substansi UU TNI juga tak luput dari sorotan. Dr. Radian menyoroti potensi konflik kepentingan terkait jabatan-jabatan sipil yang dapat diduduki oleh personel TNI aktif. Ia mengungkapkan kekhawatiran bahwa penambahan jumlah jabatan yang dapat diisi oleh TNI, akan memperluas akses dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, terutama dalam penggunaan kekuatan tentara untuk kepentingan jabatan tertentu.
- Potensi Konflik Kepentingan: Penempatan TNI aktif di jabatan sipil membuka peluang penyalahgunaan wewenang dan pencampuran kepentingan pribadi dan institusi.
- Yurisdiksi Hukum: Ketika personel TNI aktif melakukan tindak pidana dalam menjalankan tugas pemerintahan, mekanisme peradilan yang berlaku menjadi kompleks dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan.
Definisi Peran TNI dan Ancaman Siber
Lebih lanjut, Dr. Radian menekankan perlunya definisi yang lebih ketat terkait peran-peran TNI, terutama di luar operasi militer. Ia mencontohkan potensi penyalahgunaan wewenang dalam penanganan cyber. "Misalnya kritik melalui media sosial, serangan-serangan cyber yang dimaksudkan sebagai protes terhadap keadaan situasi negara, itu kan perlu dibatasi. Apakah sampai ke situ? Jadi pembatasannya harus sangat ketat," jelasnya.
Gugatan ke MK sebagai Jalan Koreksi
Meskipun gelombang penolakan massa secara nasional tidak mungkin membatalkan UU TNI, Dr. Radian menyarankan agar masyarakat sipil mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai jalur koreksi. "Kalau saya melihat bahwa prosesnya begitu cepat, menurut saya tidak mungkin (diubah atau dibatalkan). Jadi kita berharap, masyarakat sipil atau siapapun, bisa mengkoreksinya lewat Mahkamah Konstitusi," ujarnya.
Pengesahan RUU TNI menjadi undang-undang dilakukan dalam rapat paripurna di gedung DPR RI, Jakarta Pusat. Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, didampingi para wakil ketua DPR. Turut hadir Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono, dan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi.