Gelombang Penolakan UU TNI Meluas, Aksi di Semarang Ancam Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Gelombang Penolakan UU TNI Meluas, Aksi di Semarang Ancam Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi

Semarang menjadi episentrum baru penolakan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Gelombang demonstrasi menuntut pencabutan UU tersebut menggema di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah, Semarang. Massa aksi, yang tergabung dalam berbagai elemen mahasiswa dan masyarakat sipil, mengancam akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika tuntutan mereka tidak diindahkan.

Aksi Unjuk Rasa dan Tuntutan Pencabutan UU TNI

Massa mulai berkumpul di Jalan Pahlawan, tepat di depan kompleks Kantor Gubernur Jawa Tengah. Aksi diawali dengan orasi yang mengecam pengesahan UU TNI di depan Markas Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Tengah, sebelum akhirnya bergerak menuju gedung DPRD Jawa Tengah. Para demonstran membawa spanduk dan poster dengan berbagai tulisan yang menyuarakan penolakan terhadap UU TNI, diantaranya:

  • "Tolak UU TNI"
  • "Tentara Pulang ke Barak"
  • "Sok-sokan Dwifungsi, Satu Aja Gak Berfungsi"
  • "Kalian ke Sipil, Kami yang Angkat Senjata"

Koordinator aksi, Jon, dengan tegas menyatakan bahwa pengesahan UU TNI merupakan bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Indonesia. "Kami mengecam keras pengesahan UU TNI. Kami tetap melawan sampai menang. Judicial review kita bisa lakukan demi melenyapkan UU TNI," ujarnya dengan lantang.

Kritik Terhadap Dwifungsi TNI dan Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan

Aliansi Semarang Menggugat, yang terdiri dari mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi, turut menyampaikan kecaman terhadap pengesahan UU TNI. Mereka menilai UU tersebut mencederai amanat reformasi yang bertujuan untuk menghapus dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).

"Tahun 1998, revolusi militer dibentuk sebagai alat militer atau alat pertahanan negara, bukan untuk masuk ke ranah politik maupun sipil. TNI tidak boleh berbisnis dan jangan berpolitik ketika masih menjadi prajurit aktif," tegas Jon.

UU TNI yang menuai kontroversi ini mencakup perubahan pada empat pasal krusial, yaitu:

  1. Pasal 3: Mengenai kedudukan TNI.
  2. Pasal 15: Mengenai tugas pokok TNI.
  3. Pasal 53: Mengenai usia pensiun prajurit.
  4. Pasal 47: Terkait penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.

Sekar, seorang peserta aksi dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), menyampaikan kekhawatirannya terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan jika TNI ditempatkan di jabatan sipil. Ia mencontohkan pengalaman pahit di masa Orde Baru, di mana dwifungsi ABRI mengganggu supremasi sipil dan menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan yang berlebihan.

"Di masa Orba juga ada dwifungsi ABRI, yang mengganggu supremasi sipil ketika TNI memasuki jabatan sipil dan menggunakan kekuasaannya secara berlebihan," jelasnya.

Sorotan Terhadap Peradilan Militer dan Transparansi Hukum

Selain itu, Sekar juga menyoroti proses hukum bagi anggota TNI yang dilakukan melalui peradilan militer. Ia menilai bahwa proses tersebut tidak transparan kepada masyarakat sipil dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

"Jadi, itu rancu, karena hukum (peradilan militer) TNI tidak bisa transparan kepada rakyat, sementara mereka memiliki dwifungsi. Yang dikhawatirkan adalah abuse of power," tegasnya.

Pembubaran Aksi dan Penggunaan Gas Air Mata

Aksi protes tersebut berlangsung hingga sore hari dan akhirnya dibubarkan oleh aparat kepolisian sekitar pukul 17.15 WIB. Massa aksi yang berdemonstrasi di halaman DPRD Jawa Tengah diminta untuk meninggalkan lokasi. Namun, situasi sempat memanas hingga akhirnya polisi menembakkan gas air mata ke arah massa, menyebabkan mereka berhamburan keluar dari lokasi.

Demonstrasi di Semarang ini menjadi sinyal kuat bahwa penolakan terhadap UU TNI semakin meluas dan beragam. Ancaman judicial review ke MK menunjukkan keseriusan massa aksi untuk memperjuangkan pencabutan UU yang dianggap mengancam supremasi sipil dan berpotensi membangkitkan kembali dwifungsi ABRI.