Tragedi Carstensz: Upaya Regulasi dan Tantangan Pendakian di Puncak Tertinggi Indonesia
Tragedi Carstensz: Upaya Regulasi dan Tantangan Pendakian di Puncak Tertinggi Indonesia
Serangkaian insiden mematikan di Gunung Carstensz, puncak tertinggi di Indonesia, telah menyoroti perlunya regulasi yang lebih ketat dan peningkatan kesadaran akan bahaya pendakian di gunung yang menantang ini. Kematian dua pendaki senior, Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono, baru-baru ini, menambah daftar panjang korban jiwa di gunung yang dikenal dengan medan yang ekstrem dan kondisi cuaca yang tak menentu. Kejadian ini bukan yang pertama; sebelumnya, Erik Airlangga (2016) dan Andika Pratama (2018) juga meregang nyawa selama pendakian. Tragedi berulang ini mendesak dilakukannya evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendakian dan keamanan di Gunung Carstensz.
Gunung Carstensz, dengan ketinggian 4.884 mdpl, menghadirkan tantangan yang jauh berbeda dari gunung-gunung lain di Indonesia. Pendakiannya tidak hanya menuntut fisik yang prima, tetapi juga keahlian teknikal yang mumpuni. Perjalanan menuju puncak membutuhkan waktu hingga delapan hari, melewati hutan tropis yang lembab, berlumpur, dan dipenuhi lintah. Bahkan jika menggunakan helikopter untuk mempersingkat perjalanan ke Lembah Kuning (4.200 mdpl), para pendaki tetap harus beradaptasi dengan ketinggian ekstrem tersebut. Puncaknya sendiri menuntut kemampuan panjat tebing (rock climbing) dengan menggunakan tali dan peralatan khusus, diiringi dengan resiko longsoran batu dan cuaca buruk yang bisa berubah secara tiba-tiba. Faktor-faktor ini, dikombinasikan dengan kurangnya persiapan dan pemahaman akan resiko, telah berkontribusi pada tingginya angka kematian.
Perizinan pendakian juga menjadi sorotan. Surat Nomor: PG.20/T.27/HMS.2.8/B/04/2024 yang dikeluarkan Balai Taman Nasional Lorentz pada 19 April 2024, menegaskan perlunya izin atau rekomendasi dari pihak kepolisian. Tragedi terbaru ini diperkirakan akan semakin memperketat penerbitan izin pendakian, bahkan berpotensi menutup akses sementara, sebagaimana yang telah dikonfirmasi oleh pihak kepolisian. Fandhi Achmad, pendiri PAT Adventure dan atlet ultra trail Indonesia, menyatakan bahwa perizinan helikopter dan aspek-aspek lainnya masih dalam evaluasi, dan insiden ini berpotensi menjadi penghambat pendakian di masa depan. Ia juga menekankan pentingnya regulasi yang jelas dari Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI) untuk memastikan keselamatan para pendaki.
Lebih jauh, Fandhi Achmad menyoroti fenomena pendakian yang didorong oleh kebutuhan konten media sosial. Ia menyayangkan kecenderungan ini, yang menurutnya meningkatkan risiko kecelakaan. Menurutnya, pendakian ke Carstensz bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan secara sembarangan. Butuh persiapan fisik, mental, dan teknis yang matang, termasuk penguasaan teknik panjat tebing dasar. Fandhi juga menekankan bahwa rasio kematian di Carstensz sudah tidak wajar dan perlu segera diatasi dengan regulasi yang komprehensif serta edukasi publik yang intensif. Pendakian di Gunung Carstensz, dengan karakteristiknya yang unik dan menantang, membutuhkan persiapan yang jauh lebih matang dibandingkan pendakian gunung pada umumnya, dan bukan sekadar soal keberanian atau finansial. Ke depan, diperlukan langkah-langkah konkrit untuk memastikan keselamatan para pendaki serta menjaga kelestarian lingkungan Gunung Carstensz.
Daftar Kejadian Kematian di Gunung Carstensz:
- 2016: Erik Airlangga (Tim Kartini Freeport)
- 2018: Andika Pratama (Pemandu)
- [Baru-baru ini]: Lilie Wijayanti dan Elsa Laksono