Sidang Korupsi Impor Gula: Saksi Ungkap Dinamika Kebijakan Era Tom Lembong

Sidang Korupsi Impor Gula: Saksi Ungkap Dinamika Kebijakan Era Tom Lembong

Sidang kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, terus bergulir di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Jaksa penuntut umum menghadirkan saksi kunci, Muhammad Yany, mantan Kasubdit 2 Importasi Produk Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Kemendag, untuk memberikan keterangan terkait proses importasi gula di era kepemimpinan Tom Lembong.

Perdebatan Seputar Istilah dan Prosedur

Dalam persidangan yang digelar Kamis (20/3/2025), Tom Lembong mencecar saksi Yany terkait ketersediaan stok gula kristal putih (GKP) pada masanya. Tom mempertanyakan validitas pernyataan bahwa stok GKP kosong dan sulit didapatkan di pasaran.

"Jadi waktu bapak bilang gula putih nggak ada stok, nggak akan bisa dibeli, nggak ada di kawasan, jadi nggak ada stoknya, GKP?" tanya Tom Lembong.

Yany menjelaskan bahwa dalam terminologi perdagangan gula internasional, hanya dikenal dua jenis gula, yaitu raw sugar (gula mentah) dan refined sugar (gula rafinasi). Istilah GKP, menurutnya, hanya berlaku di Indonesia.

"Memang nggak ada GKP, definisi gula cuma di Indonesia aja 2, raw sugar dan refined sugar. Jadi mana ada GKP di luar (negeri)," jawab Yany.

Lebih lanjut, Yany menjelaskan bahwa pengolahan raw sugar menjadi GKP di pabrik rafinasi relatif lebih cepat karena bahan baku sudah tersedia. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan dalam kebijakan impor gula pada saat itu.

"Makanya itu saya bilang tadi lebih cepat raw sugar yang ada di pabrik rafinasi, diolah menjadi GKP karena barangnya sudah ada, raw sugarnya ada, mungkin 2-3 hari selesai," ujar Yany.

Namun, Tom Lembong mempertanyakan ketersediaan raw sugar itu sendiri, yang kemudian dijawab Yany bahwa ketiadaan raw sugar memaksa dilakukannya impor. Yany juga menyinggung perlunya rekomendasi untuk impor raw sugar reguler yang ditandatangani oleh dirjen, tetapi dalam kasus ini, rekomendasi ditandatangani oleh menteri karena bukan merupakan impor reguler.

Tom Lembong kemudian menanyakan apakah rekomendasi tersebut diperlukan, yang dijawab Yany bahwa menurutnya tidak perlu, tetapi Rakortas (Rapat Koordinasi Terbatas) tetap diperlukan.

Sangkalan Intervensi dan Klaim Transparansi

Dalam kesempatan tersebut, Tom Lembong membantah tudingan telah memberikan instruksi atau melakukan intervensi terkait proses perizinan dan jabatan struktural di Kementerian Perdagangan.

"Terakhir bahwa saya hanya perlu menyangkal, Yang Mulia, bahwa saya memberikan instruksi...Saya tidak pernah mengintervensi proses struktural, proses yang harus dijalankan oleh pejabat struktural," tegas Tom Lembong.

Saksi lain yang dihadirkan, Eko Aprilianto Sudrajat, mantan Kasi Bidang Produk Pertanian dan Kehutanan Kemendag, memberikan keterangan mengenai transparansi impor gula di era Tom Lembong. Eko menyatakan bahwa setiap rapat koordinasi dan penerbitan izin impor selalu diinformasikan kepada publik melalui media.

"Sepengetahuan saya setiap ada rapat koordinasi maupun di penerbitan, itu biasanya dari media sudah ada begitu Pak beritanya bahwa hari ini Kemendag melakukan penerbitan PI untuk dalam rangka apa...kalau bapak memasukkan itu transparansi, ya transparansi menurut kami tadi, diberitakan di media," kata Eko.

Eko juga membenarkan bahwa kegiatan importasi gula juga diinformasikan kepada menteri, presiden, dan lembaga terkait.

Dakwaan dan Ancaman Hukuman

Seperti diketahui, Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Jaksa menduga Tom Lembong terlibat dalam kasus impor gula yang merugikan negara sebesar Rp 578 miliar dengan menyetujui impor tanpa melalui rapat koordinasi yang seharusnya.