Dilema Pembiayaan Utang Negara: Efisiensi Anggaran, Danantara, dan Nasib Surat Berharga Negara

Dilema Pembiayaan Utang Negara: Efisiensi Anggaran, Danantara, dan Nasib Surat Berharga Negara

Pemerintah Indonesia tengah menghadapi dilema dalam pembiayaan utang negara. Di tengah kebutuhan pembiayaan yang signifikan, terutama untuk melunasi utang jatuh tempo dan memenuhi kebutuhan pembiayaan neto, strategi pemerintah dalam mengelola Surat Berharga Negara (SBN) dan kebijakan efisiensi anggaran menjadi sorotan. Perluasan pemotongan gaji untuk tabungan perumahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024, misalnya, telah menuai protes publik dan penundaan implementasinya. Ironisnya, kebutuhan pembiayaan utang negara justru semakin mendesak, mencapai Rp 1.576,23 triliun pada tahun 2025. Angka ini terdiri dari pelunasan utang jatuh tempo sebesar Rp 800,33 triliun dan pembiayaan utang neto sebesar Rp 775,9 triliun.

Situasi ini semakin kompleks dengan adanya temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait belum dikembalikannya dana tabungan dari 124.960 peserta BP TAPERA yang berakhir pada 2021. Lebih lanjut, praktik pengadaan SBN oleh berbagai lembaga, mulai dari BP TAPERA yang direncanakan akan menggunakan dana kelolaannya untuk membeli SBN, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dengan aset Rp 41,1 triliun pada 2023, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) yang telah menempatkan dana haji mencapai Rp 171,65 triliun di SUKUK, hingga Bank Indonesia yang telah membeli SBN sebesar Rp 169,5 triliun pada Desember 2024 dan merencanakan pembelian tambahan hingga Rp 150 triliun pada 2025, menunjukkan suatu pola ketergantungan pada SBN sebagai instrumen pembiayaan.

Dominasi aliran modal asing dalam kepemilikan SBN juga menjadi perhatian serius. Data SULNI Bank Indonesia 2024 menunjukkan aliran modal asing untuk pembelian SBN domestik mencapai 200,4 miliar dollar AS (sekitar Rp 3.194,9 triliun). Jika ditambahkan dengan utang luar negeri dan SBN valuta asing, total utang pemerintah pusat yang berasal dari aliran modal asing diperkirakan mencapai Rp 5.658,78 triliun atau 65,19% dari total utang pemerintah. Namun, perlambatan ekonomi global dan kenaikan suku bunga The Fed membuat investor asing cenderung lebih tertarik pada sektor swasta ketimbang SBN pemerintah. Kondisi ini mendorong pemerintah untuk mencari alternatif pembiayaan lain, salah satunya dengan kebijakan efisiensi anggaran.

Kebijakan efisiensi anggaran ini menimbulkan kekhawatiran baru. Apalagi jika Danantara, superholding BUMN, dijadikan sebagai pembeli SBN pemerintah. Hal ini berpotensi mengorbankan portofolio investasi BUMN dan menghambat pencapaian visi Danantara dalam mendukung kesejahteraan umum. Pertanyaan kritis muncul: apakah efisiensi anggaran yang diterapkan benar-benar untuk pertumbuhan ekonomi, atau hanya sebagai strategi untuk mengatasi kesulitan pembiayaan utang negara? Benarkah narasi kebocoran APBN sebesar 30% sebagai pembenaran kebijakan efisiensi, sementara pengelolaan APBN dan akuntabilitasnya telah terjaga dengan baik?

Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam mengatasi dilema ini. Pemerintah perlu menjelaskan secara jujur dan detail strategi pembiayaan utang negara, termasuk peran Danantara. Publik memiliki hak untuk mengawasi dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak merugikan perekonomian nasional jangka panjang. Keberhasilan dalam mengatasi permasalahan ini tidak hanya bergantung pada terselamatkannya APBN, tetapi juga pada keberlanjutan portofolio investasi BUMN dan tercapainya tujuan pembangunan nasional.