Kasasi Kasus Korupsi: MA Perberat Hukuman Karen Agustiawan, Tolak Kasasi Syahrul Yasin Limpo
Putusan Kasasi Dua Kasus Korupsi Berbeda: Perberat dan Penolakan
Mahkamah Agung (MA) telah memutus dua perkara korupsi yang berbeda, dengan hasil yang kontradiktif. Kasus pertama melibatkan mantan Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, yang hukumannya diperberat, sementara kasus kedua yang melibatkan Syahrul Yasin Limpo (SYL) berakhir dengan penolakan kasasi dan penetapan hukuman tetap.
Kasus Karen Agustiawan: Hukuman Diperberat
Karen Agustiawan, yang terbukti bersalah dalam kasus korupsi terkait pembelian gas alam cair (LNG), awalnya divonis 9 tahun penjara dan denda Rp 500 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat. Vonis ini menyatakan Karen bersalah melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP. Meskipun Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tidak mengubah hukuman penjara Karen dalam proses banding, MA, pada Jumat (28 Februari 2025), memutuskan untuk memperberat hukumannya menjadi 13 tahun penjara dan denda dinaikkan menjadi Rp 650 juta. Majelis kasasi yang terdiri atas Dwiarso Budi Santiarto (Ketua), Sinintha Yuliansih Sibarani, dan Achmad Setyo Pujiharsoyo menyatakan Karen terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Menariknya, MA membebankan kerugian negara senilai USD 113 juta bukan kepada Karen, melainkan kepada perusahaan asal Amerika Serikat, Corpus Christi Liquefaction LLC, yang dianggap telah mendapatkan keuntungan secara tidak sah dari pengadaan LNG yang menyimpang.
KPK mengapresiasi putusan MA ini dan berharap hukuman yang diperberat dapat memberikan efek jera kepada pelaku korupsi serta mendorong upaya pencegahan korupsi di masa mendatang. Perbaikan kualifikasi pasal dan peningkatan hukuman mencerminkan komitmen penegakan hukum dalam kasus ini.
Kasus Syahrul Yasin Limpo: Kasasi Ditolak
Berbeda dengan kasus Karen Agustiawan, kasasi yang diajukan oleh Syahrul Yasin Limpo (SYL) ditolak oleh MA. SYL sebelumnya divonis 10 tahun penjara dan denda Rp 300 juta oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat atas kasus pemerasan terhadap anak buahnya di Kementerian Pertanian. Nilai pemerasan yang dilakukan SYL mencapai Rp 44,2 miliar dan USD 30 ribu, meskipun hakim hanya menetapkan uang pengganti sebesar Rp 14,1 miliar dan USD 30 ribu. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kemudian memperberat hukuman SYL menjadi 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, serta menaikkan uang pengganti menjadi Rp 44,2 miliar dan USD 30 ribu. MA, dalam putusan pada Jumat (28 Februari 2025), menolak kasasi SYL dengan perbaikan redaksi mengenai pembebanan uang pengganti. Putusan ini menegaskan hukuman 12 tahun penjara, denda Rp 500 juta, dan uang pengganti sejumlah Rp 44.269.777.204 ditambah USD 30.000 tetap berlaku. Uang yang telah disita negara akan dikurangi dari total uang pengganti, dengan subsider 5 tahun penjara jika harta benda SYL tidak cukup untuk melunasi kewajiban tersebut. KPK juga memberikan apresiasi terhadap putusan MA dalam kasus ini, dan menyatakan perkara telah berkekuatan hukum tetap.
Kedua putusan MA ini menunjukkan upaya yang berkelanjutan dalam memberantas korupsi di Indonesia. Perbedaan hasil putusan kasasi ini menunjukkan kompleksitas dan detail yang perlu diperhatikan dalam setiap proses peradilan.