Aksi Penolakan RUU TNI di Semarang Berujung Penangkapan, Polisi Lepaskan Empat Aktivis Usai Diperiksa
Gelombang demonstrasi menolak Revisi Undang-Undang TNI di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, pada hari Kamis (20/3/2025), berujung pada penangkapan empat orang aktivis oleh pihak kepolisian. Penangkapan ini sontak memicu reaksi keras dari kalangan mahasiswa dan aktivis lainnya, yang langsung melakukan aksi solidaritas di depan Mapolrestabes Semarang.
Kronologi Penangkapan dan Aksi Solidaritas
Menurut keterangan Ketua BEM Universitas Diponegoro (Undip), Aufa Atha Ariq, keempat orang yang diamankan terdiri dari dua mahasiswa dan dua orang yang bertugas sebagai tim teknis dalam aksi tersebut. Identitas dua mahasiswa yang ditangkap adalah WG, seorang mahasiswi dari Universitas Sultan Agung (Unissula) Semarang, dan L, seorang mahasiswa dari Unika Soegijapranata. Sementara itu, identitas sopir mobil komando dan petugas sound system masih belum diketahui.
Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol M Syahduddi, membenarkan adanya penangkapan tersebut. Beliau menjelaskan bahwa penangkapan dilakukan karena massa aksi dianggap melanggar batas area yang telah disepakati. Awalnya, aksi demonstrasi hanya diperbolehkan dilakukan di halaman gedung DPRD Jawa Tengah. Namun, massa aksi disebut mencoba untuk menerobos masuk ke dalam gedung, sehingga terjadi aksi dorong-dorongan dengan aparat keamanan.
Lebih lanjut, Kombes Pol M Syahduddi menuding bahwa aksi demonstrasi tersebut mulai mengarah pada tindakan anarkis. Pihak kepolisian kemudian mengambil tindakan tegas dengan mengamankan beberapa orang yang dianggap sebagai provokator, termasuk orator aksi.
Pembebasan Setelah Pemeriksaan
Setelah menjalani pemeriksaan selama lebih dari dua jam di ruang penyidik Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polrestabes Semarang, keempat aktivis yang ditangkap akhirnya dibebaskan. Pembebasan ini disambut dengan sukacita oleh rekan-rekan mereka yang telah menunggu di depan Mapolrestabes Semarang.
Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Fajar Muhammad Andhika, yang mendampingi para aktivis, mengecam tindakan penangkapan tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Menurutnya, para peserta aksi hanya menyuarakan pendapat di depan kantor Gubernur Jawa Tengah dan seharusnya dilindungi oleh pihak kepolisian, bukan malah ditangkap dengan tindakan represif.
"Peserta aksi dari Aliansi Rakyat Semarang yang lantang menolak RUU TNI agar citra demokrasi tidak diciderai justru ditangkap layaknya sebagai penjahat," tegas Andhika.
Kasus ini menjadi sorotan karena menyoroti potensi pembungkaman kebebasan berpendapat dan berekspresi, terutama dalam konteks pengawasan terhadap proses legislasi yang sedang berjalan. Aksi penolakan RUU TNI ini sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat sipil untuk memastikan bahwa revisi undang-undang tersebut tidak mengancam prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.