Kerinduan Mendalam di Tanah Rantau: Kisah Perempuan Palestina Merayakan Ramadan di Indonesia di Tengah Konflik Gaza

Kerinduan Mendalam di Tanah Rantau: Kisah Perempuan Palestina Merayakan Ramadan di Indonesia di Tengah Konflik Gaza

Di tengah gemerlap Ramadan di Indonesia, Amina Elzaanin, seorang perempuan Palestina, menyimpan kerinduan mendalam pada kampung halamannya, Gaza, yang dilanda konflik. Ramadan tahun ini menjadi ujian berat baginya, jauh dari keluarga dan tanah air, dibayangi kecemasan akan keselamatan orang-orang tercinta.

Aroma Fattah Ghazawi dan Kenangan yang Terkoyak

Setiap kali waktu berbuka tiba, Amina menyiapkan Fattah Ghazawi, hidangan khas Gaza yang mengingatkannya pada kebersamaan keluarga. Nasi basmati yang harum dengan rempah, ditumpuk daging dan kacang-kacangan, ditaburi peterseli segar – sebuah simfoni rasa yang membangkitkan kenangan indah saat berkumpul bersama keluarga di Gaza. Namun, tahun ini, hidangan itu terasa pahit di lidahnya. Kesendirian dan kekhawatiran mencabik hatinya. Air mata seringkali menetes saat ia berdoa, memohon agar keluarganya dapat berkumpul kembali suatu hari nanti.

Perempuan berusia 31 tahun ini telah lima tahun menuntut ilmu di Indonesia. Ia menyelesaikan S2 di Universitas Lampung pada tahun 2021 dan kini sedang menempuh pendidikan S3 di Universitas Airlangga. Jeda kuliah pada September 2023 lalu memberinya kesempatan singkat untuk pulang ke Palestina, beberapa minggu sebelum konflik terbaru pecah. Ia masih ingat jelas pemandangan kebun buah dan sayur milik keluarganya, anggur hijau yang ranum menjalar di atap rumah. Beit Hanoun, kampung halamannya, adalah kota yang indah dan subur.

"Beit Hanoun itu cantik sekali. Kota yang subur akan buah-buahan, jeruk dan lemon," kenangnya.

Namun, keindahan itu kini tinggal kenangan. Serangan Israel telah menghancurkan Beit Hanoun, mengubahnya menjadi puing-puing tak berbentuk. Komunikasi dengan keluarga terputus, membuatnya diliputi ketidakpastian dan ketakutan. Ia tak tahu apakah orang tuanya masih hidup atau tidak. Mimpi buruk kehilangan keluarga terus menghantuinya.

Luka dan Harapan di Tengah Puing

Berita tentang tewasnya beberapa sepupunya akibat serangan Israel menambah luka di hatinya. Meskipun ayahnya selamat dan menjadi relawan pengemudi ambulans, ibu dan kakaknya sempat terpisah dan keberadaan mereka tidak diketahui. Setelah berbulan-bulan, dengan bantuan kerabat, Amina akhirnya berhasil berkomunikasi dengan ayahnya melalui sambungan telepon yang terputus-putus.

Sang ayah menceritakan tentang kondisi Gaza yang hancur lebur. Rumah mereka, yang berjarak hanya dua kilometer dari perbatasan, rata dengan tanah. Tidak ada lagi Beit Hanoun yang hijau dan subur. Dalam video yang dikirimkan, terlihat kehancuran yang mengerikan.

"Tidak ada satu bangunan pun yang utuh berdiri," ungkap Amina dengan nada pilu.

Kabar buruk terus berdatangan. Ayahnya terkena stroke. Amina bertekad untuk pulang merawat ayahnya jika Rafah dibuka kembali. Namun, sang ayah melarangnya. "Di Gaza sudah tidak ada lagi kehidupan. Semuanya sudah hancur," ujarnya.

Realita Pahit di Gaza: Harga Meroket dan Bantuan Terhambat

Gencatan senjata yang sempat berlangsung singkat pada Januari 2025 memberikan sedikit harapan bagi warga Gaza untuk mencari keluarga yang terpisah. Kakak Amina akhirnya berhasil berkumpul kembali dengan ibunya di sebuah kamp pengungsian di Gaza Utara. Sementara ayahnya berada di kamp pengungsian lain di Kota Gaza.

Namun, kehidupan di Gaza semakin sulit. Harga barang-barang melambung tinggi. Satu kilogram ayam kini seharga Rp207.000. Pintu masuk bantuan ditutup, menyebabkan kelangkaan bahan makanan. Amina berusaha membantu keluarganya dengan mengirimkan uang sebisanya.

Bersama jejaring warga Palestina di Turki dan Mesir, ia memasarkan pakaian bersulam khas Palestina, tatreez, ke Indonesia. Pakaian-pakaian ini dibuat oleh para ibu Palestina di pengungsian, memberikan mereka sumber penghasilan di tengah kesulitan.

Solidaritas dan Keteguhan di Tanah Gaza

Di tengah penderitaan warga Gaza, Marissa Noriti, seorang relawan dari MER-C Indonesia, hadir memberikan bantuan. Ia merasakan langsung bagaimana Ramadan di Gaza diwarnai ketegangan dan bahaya. Pada malam hari, serangan Israel sering terjadi, membuat warga sulit berkumpul untuk salat berjamaah.

Namun, Marissa tetap teguh pada misinya. Ia membagikan makanan kepada warga yang membutuhkan dan memberikan perawatan medis di Rumah Sakit Indonesia di Gaza, yang juga menjadi sasaran serangan. Ia terinspirasi oleh pesan ibunya untuk membantu saudara-saudara di Gaza.

"Bagi saya, menjalani Ramadan di Gaza merupakan bentuk pengabdian saya kepada orang tua," tuturnya.

Marissa berharap dunia internasional memberikan tekanan kepada Israel agar menghentikan serangan dan kembali pada perjanjian gencatan senjata.

Harapan yang Tak Pernah Padam

Meski Gaza hancur lebur, Amina tetap menyimpan harapan untuk kembali ke kampung halamannya. Ia ingin melihat rumahnya yang hancur dan membangunnya kembali bersama keluarga. Ia merindukan kehidupan sederhana di Gaza, menanam pohon dan membantu ayahnya.

"Walau hidup susah di Gaza, saya mau lihat rumah saya yang hancur. Saya mau tempati kembali bersama keluarga," ujarnya dengan penuh tekad.

Bagi Amina, Indonesia adalah tempat yang nyaman untuk belajar dan bekerja. Namun, Gaza tetaplah tanah airnya, tempat ia berakar dan bermimpi.

"Di sini saya tamu. Saya tidak bisa menanam pohon, karena ini bukan tanah saya. Di Gaza, saya bisa kembali menanam pohon. Membantu Baba, memulai kehidupan dari nol."

Kisah Amina adalah potret kerinduan, keteguhan, dan harapan di tengah badai konflik. Ia adalah simbol dari semangat warga Palestina yang tak pernah menyerah untuk membangun kembali kehidupan mereka, walau di atas puing-puing sekalipun.