Revisi UU TNI Picu Polemik Dwifungsi: Ancaman atau Adaptasi?
Revisi UU TNI Picu Polemik Dwifungsi: Ancaman atau Adaptasi?
Pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan UU TNI oleh DPR memicu perdebatan sengit di kalangan masyarakat. Isu dwifungsi TNI kembali mencuat, menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya peran ganda militer dalam pemerintahan sipil seperti era Orde Baru. Namun, di sisi lain, terdapat argumen yang melihat revisi ini sebagai upaya adaptasi TNI terhadap dinamika tantangan keamanan modern.
Akar Konsep Dwifungsi TNI
Konsep dwifungsi TNI, yang digagas oleh Jenderal AH Nasution pada akhir 1950-an, pada awalnya bertujuan untuk memberikan peran yang lebih luas kepada militer dalam pembangunan nasional. TNI tidak hanya bertugas sebagai kekuatan pertahanan negara, tetapi juga sebagai agen pembangunan di berbagai bidang. Namun, dalam praktiknya, konsep ini seringkali disalahgunakan untuk melegitimasi intervensi militer dalam politik dan pemerintahan.
Kontroversi Revisi UU TNI
Revisi UU TNI menuai kritik karena memperluas cakupan penugasan prajurit TNI aktif di berbagai kementerian dan lembaga negara. Pasal-pasal yang direvisi, seperti Pasal 3, Pasal 7, Pasal 47, dan Pasal 53, membuka peluang bagi TNI untuk mengisi jabatan-jabatan sipil, yang dikhawatirkan akan mengganggu profesionalisme dan netralitas militer. Selain itu, penambahan tugas operasi militer selain perang juga menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas kewenangan TNI dalam menghadapi masalah-masalah non-militer.
Kritik Historis terhadap Dwifungsi
Sejarah dwifungsi TNI di Indonesia pada masa Orde Baru diwarnai oleh berbagai penyimpangan dan pelanggaran hak asasi manusia. Militer memiliki peran yang dominan dalam politik dan pemerintahan, sehingga membatasi partisipasi masyarakat sipil dan menghambat perkembangan demokrasi. Kritik terhadap dwifungsi TNI juga datang dari kalangan mahasiswa, intelektual, dan bahkan dari internal militer sendiri. Mereka menuntut agar TNI kembali kepada fungsi utamanya sebagai kekuatan pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan politik praktis.
Kritik dari Berbagai Kalangan
- Seskoad Paper (1977): Mendesak ABRI untuk netral dalam pemilu dan berpegang pada UUD 1945.
- Mahasiswa (1974-1978): Menentang keberpihakan ABRI kepada Golkar dan menyerukan "Kembalikan ABRI kepada Rakyat".
- Aksi 20 Mei 1998: Mahasiswa UGM menuntut reformasi dan menolak kekerasan.
Adaptasi atau Ancaman?
Pendukung revisi UU TNI berargumen bahwa penugasan TNI di berbagai K/L diperlukan untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia dan meningkatkan efektivitas pemerintahan. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa TNI memiliki keahlian dan pengalaman yang relevan untuk membantu menyelesaikan masalah-masalah kompleks yang dihadapi oleh negara. Namun, para kritikus tetap khawatir bahwa revisi ini akan membuka pintu bagi kembalinya dwifungsi TNI dan mengancam demokrasi.
Menjaga Profesionalisme dan Netralitas TNI
Perdebatan tentang revisi UU TNI dan isu dwifungsi TNI menunjukkan pentingnya menjaga profesionalisme dan netralitas militer dalam negara demokrasi. TNI harus tetap fokus pada tugas utamanya sebagai kekuatan pertahanan negara dan tidak terlibat dalam urusan politik praktis. Pengawasan yang ketat dari masyarakat sipil dan lembaga-lembaga negara lainnya diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan bahwa TNI tetap setia kepada konstitusi dan kepentingan rakyat.
Kesimpulan
Revisi UU TNI telah memicu polemik tentang dwifungsi, membangkitkan ingatan akan masa lalu dan kekhawatiran tentang masa depan. Pertanyaan kuncinya adalah, apakah revisi ini merupakan adaptasi yang diperlukan untuk menghadapi tantangan zaman, atau justru ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil? Jawabannya akan sangat bergantung pada bagaimana implementasi UU ini di lapangan, dan seberapa kuat komitmen semua pihak untuk menjaga profesionalisme dan netralitas TNI.