IPW Kritik Tajam Pengusutan Korupsi Pertamina: Soroti Diksi 'Oplosan' dan Pertanyakan Keterkaitan Tersangka Swasta dengan Kerugian Negara
IPW Kritik Tajam Pengusutan Korupsi Pertamina: Soroti Diksi 'Oplosan' dan Pertanyakan Keterkaitan Tersangka Swasta dengan Kerugian Negara
Jakarta - Indonesian Police Watch (IPW) melayangkan kritik pedas terhadap proses pengusutan dugaan korupsi di PT Pertamina Patra Niaga yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung. Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses hukum tersebut, terutama terkait penetapan tersangka dari pihak swasta dan relevansi kerugian negara yang fantastis.
Polemik Istilah 'Oplosan' dan Dampaknya
Sugeng menyoroti penggunaan istilah "pengoplosan" yang digunakan oleh Kejaksaan Agung untuk menggambarkan tindakan tersangka dari klaster swasta. Menurutnya, tindakan yang dilakukan oleh PT Orbit Terminal Merak lebih tepat disebut sebagai blending, bukan pengoplosan. Blending, dalam konteks ini, merujuk pada pencampuran minyak RON 90 dengan minyak RON yang lebih rendah untuk menghasilkan RON 92.
Lebih lanjut, Sugeng menjelaskan bahwa praktik blending ini sebenarnya merupakan hasil kerjasama dengan Pertamina yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2004 jo PP Nomor 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi. Peraturan ini mengatur bahwa blending harus memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh menteri terkait, serta diawasi oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas).
"Kejaksaan Agung dinilai telah salah memilih diksi oplosan karena praktik blending dalam dunia industri sudah sesuai aturan," tegas Sugeng.
Sugeng menyayangkan bahwa meskipun Kejaksaan Agung telah meralat penggunaan istilah tersebut, dampaknya sudah terlanjur meluas. Penggunaan istilah "oplosan" yang keliru telah menyesatkan masyarakat dan merugikan citra Pertamina. Akibatnya, konsumen kehilangan kepercayaan dan beralih ke SPBU asing, yang menyebabkan penurunan pendapatan Pertamina hingga 20 persen.
Pertanyaan atas Keterkaitan Tersangka dengan Kerugian Negara
Sorotan lain dari IPW adalah mengenai keterkaitan antara kerugian negara sebesar Rp 193,7 triliun dengan para tersangka dari klaster swasta. Kejaksaan Agung membagi kerugian negara tersebut ke dalam lima kluster:
- Kerugian ekspor minyak mentah dalam negeri sebesar Rp 35 triliun
- Kerugian impor minyak mentah melalui DMUT/broker sekitar Rp 2,7 triliun
- Kerugian impor BBM melalui DMUT/broker sekitar Rp 9 triliun
- Kerugian pemberian kompensasi (2023) sebesar Rp 126 triliun
- Kerugian pemberian subsidi (2023) sebesar Rp 21 triliun
Sugeng mempertanyakan bagaimana kerugian negara dalam lima kluster tersebut dapat dikaitkan dengan sangkaan pengoplosan/blending dan mark up kontrak shipping yang dituduhkan kepada para tersangka swasta. Ia menilai tidak ada relevansi yang jelas antara peristiwa hukum yang mengakibatkan kerugian negara yang begitu besar dengan dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka.
"Tidak nyambung antara petitum dengan posita. Tidak ada relevansinya antara peristiwa hukum yang mengakibatkan kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun dengan dugaan pengoplosan/blending dan mark up kontrak shipping," kata Sugeng.
Sugeng juga menyebutkan bahwa ada pihak-pihak lain yang seharusnya lebih bertanggung jawab atas kerugian negara tersebut, namun belum tersentuh oleh Kejaksaan Agung. Atas dasar ini, IPW mendesak Kejaksaan Agung untuk bertindak profesional dan tidak tebang pilih dalam menuntaskan kasus korupsi di Pertamina.
Desakan untuk Pengusutan Tuntas dan Transparan
Sugeng menekankan bahwa tindakan yang tidak cermat dalam pengusutan kasus ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Ia mengingatkan agar Kejaksaan Agung tidak hanya fokus pada tersangka yang sudah ditetapkan, tetapi juga harus mendalami kemungkinan keterlibatan pihak lain yang lebih besar.
Ketua Komisi Kejaksaan, Pujiyono Suwadi, yang juga hadir dalam diskusi tersebut, menyampaikan harapan serupa. Ia mengingatkan agar Kejaksaan Agung tidak berhenti pada sembilan tersangka yang sudah ditetapkan dan tidak melakukan upaya "cuci nama" sebelum proses hukum berjalan tuntas.
"Tentu Rp 193,7 triliun per tahun pastilah tidak hanya melibatkan sembilan orang ini. Bisa ke atas, ke samping, ke bawah," ujar Pujiyono.
Pujiyono juga meminta masyarakat untuk bersabar dan memberikan kesempatan kepada Kejaksaan Agung untuk menuntaskan pengusutan kasus ini secara menyeluruh. Ia berharap agar proses pengumpulan barang bukti dapat mengarah pada alat bukti lain yang dapat mengungkap keterlibatan pihak lain yang lebih tinggi.
Kasus dugaan korupsi di Pertamina ini terus menjadi sorotan publik. Dengan penetapan sembilan tersangka, termasuk enam petinggi anak usaha Pertamina dan tiga broker, diharapkan Kejaksaan Agung dapat mengungkap seluruh fakta dan membawa para pelaku yang bertanggung jawab ke pengadilan.