Penurunan Impor Barang Konsumsi Picu Kekhawatiran Daya Beli Masyarakat Menjelang Ramadan

Penurunan Impor Barang Konsumsi Picu Kekhawatiran Daya Beli Masyarakat Menjelang Ramadan

Jakarta, [Tanggal Hari Ini] - Data terbaru menunjukkan penurunan signifikan dalam impor barang konsumsi menjelang bulan Ramadan 2025, memicu kekhawatiran tentang potensi pelemahan daya beli masyarakat. Penurunan ini menjadi sorotan karena Ramadan secara tradisional merupakan periode peningkatan konsumsi yang signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa nilai impor barang konsumsi pada Februari 2025 mencapai 1,47 miliar dollar AS, turun 10,61 persen dibandingkan bulan sebelumnya (1,64 miliar dollar AS). Lebih mengkhawatirkan lagi, secara tahunan, impor barang konsumsi anjlok 21,05 persen dari 1,86 miliar dollar AS pada periode yang sama tahun sebelumnya.

Ekonom Achmad Nur Hidayat dari UPN Veteran Jakarta menginterpretasikan penurunan ini sebagai indikasi langsung dari melemahnya daya beli. "Penurunan impor barang konsumsi seperti daging sapi beku, beras, dan buah-buahan jelas mencerminkan daya beli masyarakat yang sedang bermasalah," ujarnya.

Indikator lain yang mendukung pandangan ini adalah Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Bank Indonesia (BI) yang juga mengalami penurunan. IKK Februari 2025 turun 1,2 poin menjadi 126,4, menambah bukti bahwa konsumen menjadi lebih berhati-hati dalam pengeluaran mereka.

Ironisnya, penurunan impor barang konsumsi terjadi di tengah kenaikan total impor Indonesia sebesar 5,18 persen secara bulanan. Namun, kenaikan ini didorong oleh impor bahan baku (73,90 persen) dan barang modal (18,31 persen). "Impor bahan baku seperti logam mulia, minyak mentah, dan gandum mengalami peningkatan yang substansial, sementara impor barang konsumsi justru mengalami penurunan," jelas Achmad Nur Hidayat.

Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia (Aprindo), Roy Nicholas Mandey Askar, memperkuat pandangan ini, dengan menyatakan bahwa penurunan impor barang konsumsi menunjukkan permintaan yang lesu. "Ini adalah indikator sederhana bahwa kita melihat penurunan daya beli. Permintaan lebih lemah dibandingkan dengan pasokan, yang mungkin saja kuat, tetapi terhambat oleh permintaan yang rendah," kata Roy.

Roy Nicholas Mandey Askar menjelaskan bahwa masyarakat, terutama dari kalangan menengah ke bawah, cenderung untuk menyimpan uang sebagai tabungan. Ketidakpastian ekonomi, diperburuk oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), mendorong masyarakat untuk memprioritaskan kebutuhan primer dan menahan diri dari pengeluaran diskresioner. Bahkan, THR yang diterima menjelang Lebaran diperkirakan akan lebih banyak disimpan daripada dibelanjakan, sebuah pola yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.

"Kelompok menengah dan ke bawah adalah yang paling terdampak. Mereka mengurangi kunjungan ke pusat perbelanjaan karena keinginan dan harapan yang belum bisa direalisasikan," jelasnya.

Lemahnya daya beli kelas menengah ke bawah ini menimbulkan dampak signifikan pada konsumsi nasional. Roy Nicholas Mandey Askar menekankan bahwa konsumsi Indonesia sangat bergantung pada kelas menengah (45 persen), diikuti oleh kelas atas (15 persen), dan sisanya dari kelas bawah. Berbagai kebijakan insentif pemerintah, seperti diskon tiket pesawat, listrik, dan tarif tol, belum mampu secara signifikan meningkatkan daya beli masyarakat menjelang Lebaran.

"Situasi ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya," simpul Roy Nicholas Mandey Askar.

Dampak dan Implikasi

Penurunan impor barang konsumsi ini memiliki implikasi yang luas bagi perekonomian Indonesia. Selain mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, penurunan daya beli dapat berdampak pada sektor ritel, manufaktur, dan pertanian. Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah ini, termasuk:

  • Mendorong investasi: Menciptakan iklim investasi yang kondusif dapat membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
  • Memperkuat program perlindungan sosial: Program-program seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan subsidi dapat membantu meringankan beban ekonomi masyarakat miskin dan rentan.
  • Menstabilkan harga pangan: Kenaikan harga pangan dapat mengurangi daya beli masyarakat. Pemerintah perlu menjaga stabilitas harga pangan melalui kebijakan yang tepat.
  • Meningkatkan literasi keuangan: Meningkatkan literasi keuangan masyarakat dapat membantu mereka mengelola keuangan dengan lebih baik dan membuat keputusan keuangan yang lebih bijak.

Dengan mengambil langkah-langkah yang tepat, pemerintah dapat membantu memulihkan daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.