Vonis Bebas Polisi dalam Kasus Pencabulan Anak di Papua Menuai Kecaman, DPR RI Soroti Bobroknya Peradilan dan Pelanggaran HAM

Kontroversi Vonis Bebas dalam Kasus Pencabulan Anak di Papua: DPR RI Mengkritik Keras

Keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura yang memvonis bebas seorang anggota polisi yang menjadi terdakwa dalam kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua, telah memicu gelombang kecaman dari berbagai pihak, terutama dari Komisi III DPR RI. Vonis ini dianggap sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual pada anak dan mencoreng rasa keadilan bagi korban serta keluarganya.

Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Andreas Hugo Pareira, secara tegas menyatakan kekecewaannya atas putusan tersebut. Ia menilai bahwa vonis bebas tersebut mencerminkan kurangnya keseriusan dalam menangani kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak, padahal sudah ada Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang seharusnya menjadi landasan hukum yang kuat untuk melindungi anak-anak dari tindak kekerasan. Putusan ini juga dinilai sebagai bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia, khususnya hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan keadilan.

Sorotan terhadap Proses Peradilan dan Status Terdakwa

Andreas Hugo Pareira menekankan bahwa pengadilan seharusnya dapat mengambil keputusan yang lebih adil dan berpihak pada korban. Status terdakwa sebagai anggota Polri juga seharusnya menjadi pertimbangan yang memberatkan, mengingat tugas utama polisi adalah melindungi masyarakat, termasuk anak-anak. Vonis bebas ini dinilai semakin memperburuk citra institusi kepolisian yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum dan perlindungan masyarakat.

"Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan pun ikut tidak berpihak kepada korban lewat proses peradilan yang penuh ketidakadilan," ungkap Andreas, menunjukkan kekecewaannya terhadap proses peradilan yang dinilai cacat.

Komnas HAM Diminta Turut Mengawal Kasus

Melihat adanya indikasi ketidakberesan dalam proses peradilan, Andreas Hugo Pareira meminta Komnas HAM untuk turut serta mengawal kasus ini. Keluarga korban saat ini tengah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan keterlibatan Komnas HAM diharapkan dapat memastikan hak-hak korban benar-benar terlindungi dan terakomodasi.

"Keputusan pihak keluarga ini menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan atau ketidakwajaran dalam proses peradilan," kata Andreas, menggarisbawahi pentingnya pengawasan eksternal dalam kasus ini.

Pelanggaran terhadap Hak-Hak Anak yang Dilindungi Undang-Undang

Andreas Hugo Pareira juga mengingatkan bahwa hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari negara telah dijamin dalam Undang-Undang HAM. Undang-undang ini mengatur bahwa setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara. Hak anak adalah hak asasi manusia yang diakui serta dilindungi oleh hukum.

Kronologi Kasus dan Upaya Keluarga Korban Mencari Keadilan

Kasus ini bermula pada tahun 2022, ketika seorang anak berusia lima tahun di Kabupaten Keerom, Papua, menjadi korban pencabulan oleh seorang polisi berpangkat Brigadir Dua dengan inisial AFH. Korban kemudian menceritakan kejadian tersebut kepada kakaknya, dan keluarga korban melaporkan kasus ini ke Polda Papua pada tahun 2023. Setelah enam bulan, pelaku baru ditahan.

Kasus ini sempat dimediasi oleh pihak Kepolisian Polres Keerom, namun tidak membuahkan hasil yang memuaskan bagi keluarga korban. Proses persidangan di Pengadilan Negeri Jayapura dimulai pada tahun 2024, dan pada 20 Januari 2025, majelis hakim menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa.

Kuasa hukum korban, Dede Gustiawan Pagundun, menyatakan keberatannya atas vonis bebas tersebut dan telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Tim pengacara juga akan mengirim surat ke Komisi Yudisial sebagai upaya untuk mencari keadilan. Dede Gustiawan Pagundun menuding hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan, termasuk pengakuan korban dan surat kesepakatan yang dibuat antara pelaku dan keluarga korban di Polres Keerom.

Kejanggalan Surat Kesepakatan yang Diabaikan Hakim

Surat kesepakatan tersebut memuat kesediaan terdakwa untuk membayarkan uang sebesar Rp 80 juta kepada keluarga korban untuk biaya pengobatan. Dede Gustiawan Pagundun berpendapat bahwa surat kesepakatan ini merupakan bukti kuat adanya tindak pencabulan yang dilakukan oleh terdakwa. Ia mempertanyakan mengapa seseorang yang tidak bersalah bersedia memberikan uang sebesar itu kepada korban.

Daftar Poin Penting Kasus:

  • Vonis Bebas: Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura memvonis bebas polisi terdakwa pencabulan anak.
  • Kecaman DPR: Komisi XIII DPR RI mengecam putusan tersebut, menilai peradilan tidak beres dan mencederai HAM.
  • Status Terdakwa: Terdakwa adalah anggota Polri, yang seharusnya melindungi masyarakat.
  • Kasasi: Pihak keluarga korban mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
  • Komnas HAM: Diminta untuk mengawal kasus demi memastikan hak-hak korban terakomodir.
  • Surat Kesepakatan: Terdapat surat kesepakatan antara pelaku dan keluarga korban di Polres Keerom, yang memuat kesediaan terdakwa untuk membayar uang sebesar Rp 80 juta.

Kasus ini menjadi sorotan publik dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sistem peradilan di Indonesia, terutama dalam penanganan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak. Masyarakat berharap agar Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat bertindak tegas dan memberikan keadilan bagi korban.