Revisi UU TNI Disahkan: Pemerintah dan DPR Menepis Kekhawatiran Publik

Revisi UU TNI Disahkan: Pemerintah dan DPR Menepis Kekhawatiran Publik

Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI menuai berbagai reaksi di masyarakat. Di tengah gelombang protes, pemerintah melalui Kepala Presidential Communication Office (PCO) Hasan Nasbi berupaya meredakan kekhawatiran publik terkait potensi implikasi dari aturan baru tersebut.

Menurut Hasan Nasbi, kekhawatiran yang selama ini disuarakan oleh berbagai pihak tidak terbukti dalam UU TNI yang telah disahkan. Ia menegaskan bahwa baik DPR maupun pemerintah telah memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai substansi revisi, khususnya terkait pasal-pasal yang dianggap kontroversial.

"Seharusnya sudah tidak ada kontroversi lagi. Sebab semua hal yang ditakutkan oleh teman-teman itu tidak terbukti sama sekali. Sudah banyak pihak yang menjelaskan ini sebelumnya, baik dari DPR maupun pemerintah," ujar Hasan kepada wartawan.

Salah satu poin utama yang menjadi sorotan dalam revisi UU TNI adalah Pasal 47 yang mengatur tentang penempatan prajurit TNI di jabatan sipil. Hasan menjelaskan bahwa penempatan prajurit di ranah sipil hanya akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan terbatas pada kementerian/lembaga yang tercantum dalam ketentuan. Lebih lanjut, ia menekankan bahwa di luar kementerian/lembaga tersebut, prajurit TNI yang ditugaskan harus mengundurkan diri atau pensiun dari dinas militer.

"Pasal 47 UU TNI justru 'mengunci' posisi yang boleh diduduki oleh TNI aktif di bidang-bidang yang membutuhkan keahlian TNI," tegas Hasan.

Pasal-Pasal Kontroversial dalam Revisi UU TNI:

Beberapa pasal dalam revisi UU TNI menjadi perhatian publik, di antaranya:

  • Pasal 7: Penambahan tugas operasi militer selain perang (OMSP) bagi TNI. Dari yang sebelumnya 14 tugas, kini bertambah menjadi 16. Dua tugas tambahan tersebut meliputi:
    • Membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber.
    • Membantu dalam melindungi dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
  • Pasal 47: Perluasan daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel TNI aktif. Semula hanya 10, kini bertambah menjadi 14. Penambahan tersebut mencakup:
    • Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP).
    • Badan Penanggulangan Bencana.
    • Badan Penanggulangan Terorisme.
    • Badan Keamanan Laut.
    • Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
  • Pasal 53: Perubahan batas usia pensiun prajurit TNI. Ketentuan ini diatur dalam ayat (2) dengan batas usia pensiun yang variatif berdasarkan pangkat dan jabatan:
    • Bintara dan Tamtama: Maksimal 55 tahun.
    • Perwira (hingga Kolonel): Maksimal 58 tahun.
    • Perwira Tinggi Bintang 1: Maksimal 60 tahun.
    • Perwira Tinggi Bintang 2: Maksimal 61 tahun.
    • Perwira Tinggi Bintang 3: Maksimal 62 tahun.
    • Perwira Tinggi Bintang 4: Maksimal 63 tahun (dapat diperpanjang maksimal 2 kali atau 2 tahun sesuai kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden).

Pengesahan revisi UU TNI ini diharapkan dapat memperkuat peran TNI dalam menjaga keamanan dan kedaulatan negara. Namun, pemerintah dan DPR perlu terus memberikan penjelasan yang transparan dan akuntabel kepada publik untuk meredakan kekhawatiran dan memastikan bahwa implementasi UU TNI sesuai dengan semangat reformasi dan supremasi sipil.