Polemik Revisi UU TNI: Antara Supremasi Sipil dan Penggembosan dari Dalam
Polemik Revisi UU TNI: Antara Supremasi Sipil dan Penggembosan dari Dalam
Revisi Undang-Undang TNI (UU TNI) kembali mencuatkan perdebatan sengit, terutama di kalangan masyarakat sipil yang khawatir akan tergerusnya supremasi sipil. Penolakan terhadap revisi ini didasari oleh beberapa poin krusial yang dianggap berpotensi mengembalikan peran TNI ke ranah sipil, sesuatu yang selama ini coba dijaga dan diperkuat sejak era Reformasi.
Salah satu poin yang menjadi sorotan utama adalah usulan perpanjangan masa pensiun bagi prajurit TNI. Di tengah kondisi kelebihan perwira tinggi dalam Daftar Susunan Personel (DSP), kebijakan ini dianggap kontraproduktif dan berpotensi menimbulkan masalah baru dalam manajemen sumber daya manusia di tubuh TNI. Selain itu, revisi UU TNI juga menimbulkan polemik terkait penambahan daftar kementerian dan lembaga yang diperbolehkan untuk diisi oleh personel TNI aktif. Meskipun klausul kontroversial mengenai penempatan TNI di "kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden" telah dihapus dari draf yang diajukan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang dan tumpang tindih peran tetap membayangi.
Erosi Supremasi Sipil: Bukan Sekadar Revisi UU TNI
Namun, perlu ditegaskan bahwa erosi supremasi sipil bukanlah semata-mata disebabkan oleh revisi UU TNI. Fenomena ini telah berlangsung secara bertahap selama beberapa tahun terakhir, ditandai dengan penunjukan sejumlah penjabat (Pj) kepala daerah dari kalangan TNI-Polri aktif, serta penempatan perwira TNI-Polri aktif pada posisi Eselon I di berbagai kementerian di luar Kementerian Pertahanan. Praktik-praktik ini secara tidak langsung mengikis batas antara peran militer dan sipil, serta menimbulkan pertanyaan mengenai netralitas dan profesionalisme aparat negara.
Selain itu, munculnya istilah "parcok" (partai coklat, merujuk pada kedekatan aparat dengan partai politik tertentu) dan "parjo" (partai hijau, mengindikasikan kelompok dengan afiliasi keagamaan tertentu) dalam arena politik juga menjadi indikasi semakin kuatnya polarisasi dan politisasi di tubuh aparat negara. Ironisnya, kehadiran "parjo" justru dianggap sebagai penyeimbang kekuatan "parcok", alih-alih mengurangi pengaruh kedua kelompok tersebut. Kebutuhan akan balancing power ini bahkan pernah diungkapkan secara tersirat oleh seorang anggota DPR dalam rapat Komisi I dengan Menteri Pertahanan dan Panglima TNI.
Andil Politisi Sipil dalam Penggembosan Supremasi Sipil
Patut disadari bahwa politisi sipil era Reformasi juga memiliki andil dalam menguatkan pengaruh "parcok" dan "parjo". Mereka seringkali memanfaatkan keberadaan aparat untuk kepentingan pribadi dan kelompok, mulai dari hal-hal sepele seperti pengawalan lalu lintas hingga praktik yang lebih serius seperti pemberian "jatah komisaris" kepada aparat dalam bisnis ekstraksi sumber daya alam, serta mobilisasi instrumen negara untuk kepentingan pemilu. Bahkan, tak jarang politisi sipil memelihara dan menggunakan organisasi masyarakat (ormas) yang "bergaya" militer untuk mencapai tujuan politiknya.
Dengan demikian, ketidakmandirian politisi sipil merupakan faktor struktural dan behavioral yang lebih luas daripada sekadar revisi UU TNI. Meskipun trisula kekuatan ABRI-Birokrat-Golkar (ABG) sebagai corong rezim Orde Baru sudah tidak ada lagi, politisi sipil era Reformasi justru memberikan ruang bagi penggembosan supremasi sipil dengan memanfaatkan kekuatan aparat untuk kepentingan bisnis dan politik mereka.
Menghindari Perang Saudara di Masa Depan
Oleh karena itu, politisi dan masyarakat sipil perlu berbenah diri dan memulai kemandirian, terutama dalam proses politik tanpa menggunakan instrumen negara. Elite politik harus mampu menggunakan kekuatan sipil yang dimobilisasi oleh gagasan dan pikiran, bukan oleh kekuatan koersif seperti militerisasi atau sipil yang bergaya militer. Ketergantungan pada balancing power antara "parcok" dan "parjo" hanya akan menciptakan bibit-bibit konflik dan perang saudara di masa depan.
Supremasi sipil yang kuat hanya dapat dicapai melalui kemandirian politisi sipil, penguatan institusi demokrasi, dan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam mengawal kebijakan publik. Revisi UU TNI hanyalah salah satu aspek dari persoalan yang lebih kompleks ini. Perlu adanya perubahan paradigma dan komitmen bersama untuk menjaga supremasi sipil sebagai fondasi utama negara demokrasi yang sehat dan berkeadilan.