Mahasiswa FHUI Ajukan Uji Materi UU TNI ke MK, Soroti Proses Legislasi yang Dianggap Tergesa-gesa dan Kurang Partisipatif
Mahasiswa FHUI Pertanyakan Keabsahan UU TNI yang Baru Direvisi
Tujuh mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang TNI yang baru saja disahkan. Gugatan ini didasari oleh keyakinan bahwa terdapat kejanggalan dalam proses revisi undang-undang tersebut.
Ketujuh mahasiswa tersebut, yang terdiri dari Muhammad Alif Ramadhan, Namoradiarta Siahaan, Kelvin Oktariano, M Nurrobby Fatih, Nicholas Indra Cyrill Kataren, Mohammad Syaddad Sumartadinata, dan Yuniar A Alpandi, secara kolektif menyatakan keprihatinan mereka terhadap kecepatan dan kurangnya transparansi dalam proses legislasi UU TNI.
Kejanggalan dalam Proses Revisi
Muhammad Alif Ramadhan, salah satu penggugat, menyoroti beberapa poin penting terkait proses revisi UU TNI. Alif mempertanyakan mengapa proses revisi berlangsung begitu cepat, sementara revisi UU TNI tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025. Usulan Komisi I untuk Prolegnas adalah revisi Undang-Undang Penyiaran, namun yang justru dikerjakan adalah Undang-Undang TNI. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai prioritas dan urgensi revisi UU TNI.
Selain itu, Alif juga menyoroti kurangnya aksesibilitas draf revisi UU TNI bagi masyarakat umum dan praktisi hukum. Menurutnya, partisipasi publik yang bermakna sangat penting dalam proses legislasi. Masyarakat memiliki hak untuk memberikan masukan dan usulan yang konstruktif terhadap undang-undang yang akan berdampak pada kehidupan mereka. Kurangnya transparansi dalam proses revisi UU TNI dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak partisipasi publik yang dijamin oleh Pasal 28C Ayat 2 UUD 1945.
Permohonan Uji Materi ke MK
Dalam permohonannya ke MK, para mahasiswa FHUI meminta agar MK menyatakan UU TNI yang baru direvisi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Mereka juga meminta agar MK mengembalikan norma hukum sebelum revisi disahkan. Para mahasiswa berpendapat bahwa proses revisi UU TNI yang cacat hukum dapat merugikan kepentingan masyarakat dan negara.
Latar Belakang Pengesahan UU TNI
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Revisi UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025. Revisi UU TNI ini mencakup perubahan empat pasal, yaitu Pasal 3 mengenai kedudukan TNI, Pasal 15 soal tugas pokok TNI, Pasal 53 soal usia pensiun prajurit, serta Pasal 47 berkait dengan penempatan prajurit aktif di jabatan sipil.
Undang-undang ini menuai kontroversi dan penolakan dari berbagai pihak, yang mengkhawatirkan dampak negatifnya terhadap supremasi sipil dan profesionalisme TNI. Beberapa poin krusial dalam revisi UU TNI yang menjadi sorotan adalah:
- Perluasan Kewenangan TNI: Revisi UU TNI dianggap memberikan kewenangan yang terlalu luas kepada TNI, yang berpotensi tumpang tindih dengan kewenangan lembaga sipil.
- Penempatan Prajurit Aktif di Jabatan Sipil: Ketentuan mengenai penempatan prajurit aktif di jabatan sipil dikhawatirkan dapat mengganggu netralitas TNI dan membuka peluang terjadinya konflik kepentingan.
- Usia Pensiun Prajurit: Perubahan usia pensiun prajurit juga menjadi perdebatan, dengan kekhawatiran bahwa hal ini dapat menghambat regenerasi di tubuh TNI.
Gugatan yang diajukan oleh para mahasiswa FHUI ini diharapkan dapat menjadi momentum untuk mengkaji ulang UU TNI dan memastikan bahwa undang-undang tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, supremasi sipil, dan profesionalisme TNI.