Pengesahan RUU TNI Tuai Kritik: Pengamat Sebut DPR Membuka Jalan Bagi Neo-Orde Baru

Pengamat Unika Kecam Pengesahan RUU TNI: Indikasi Kembalinya Orde Baru?

SEMARANG, JAWA TENGAH - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Andreas Pandiangan, seorang pengamat politik dari Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait implikasi RUU ini terhadap kehidupan demokrasi di Indonesia.

Andreas Pandiangan mengecam keras tindakan DPR yang dinilai telah membuka pintu bagi kembalinya peran TNI dalam ranah pemerintahan sipil. Menurutnya, langkah ini merupakan sebuah kemunduran yang mengkhianati semangat reformasi 1998, yang bertujuan untuk menghapus dwifungsi ABRI – sebuah konsep yang memberikan peran ganda bagi militer dalam urusan pertahanan dan sosial-politik.

"Yang sangat saya sesalkan adalah bagaimana partai-partai politik, yang sebagian besar lahir dari rahim reformasi, justru menyetujui hal ini," ujar Andreas. Ia menambahkan bahwa pengesahan RUU TNI ini semakin mempertebal kesan kembalinya Orde Baru dengan wajah yang baru.

Andreas juga menyoroti bahwa langkah ini diambil di tengah kuatnya koalisi pemerintahan. Menurutnya, hal ini sudah melewati batas kewajaran dan berpotensi memperburuk kondisi demokrasi di Indonesia. Ia bahkan menyebut partai politik yang mengikuti arus rezim sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas situasi ini.

"Menurut saya, yang paling berdosa di sini adalah partai politik yang mau mengikuti irama rezim ini. Ya, kita tahu ada koalisi, tapi jangan sampai ke sana," tegasnya.

Lebih lanjut, Andreas menuding rezim pemerintahan saat ini berusaha mengendalikan kementerian-kementerian strategis sesuai dengan keinginan mereka. Ia mencontohkan keterlibatan militer dalam proyek food estate dan penyerapan beras untuk Bulog sebagai indikasi menguatnya peran TNI di ranah sipil, bahkan sebelum RUU TNI disahkan.

"Menurut saya, tidak ada alasan untuk percaya kepada partai politik ini. Semua partai politik itu sebagian besar produk reformasi. Ya, di luar itu ada PDI, PPP, Golkar, tapi mengapa mereka harus menyetujui ini?" tanya Andreas dengan nada kecam.

Andreas juga mempertanyakan prioritas DPR yang lebih memilih untuk mengesahkan RUU TNI daripada RUU lain yang lebih mendesak dan dibutuhkan oleh masyarakat. Ia meyakini bahwa pengesahan RUU TNI ini merupakan bagian dari skenario besar yang melibatkan pemerintah.

"Pastilah ada campur tangan pemerintah. Pembuatan undang-undang ini merupakan kombinasi kepentingan DPR dan pemerintah. Menurut saya, ini bagian dari melengkapi sebuah skenario besar, yakni semangat Orde Baru yang dimunculkan kembali," jelasnya.

Dengan disahkannya RUU TNI, Andreas khawatir pemerintahan akan berjalan secara sentralistik, dengan komando terpusat, sementara otonomi daerah akan semakin tergerus.

Proses Pembahasan RUU yang Tertutup dan Tergesa-gesa

Andreas juga mengecam ketidaklaziman DPR RI yang membahas RUU TNI secara tertutup dan tergesa-gesa, tanpa melibatkan partisipasi publik. Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa DPR tidak lagi aspiratif dan tidak mendengarkan suara rakyat.

"Suasana ini sudah tidak demokratis lagi, sudah tidak aspiratif. Bagaimana bisa rezim ini mengatakan 'kami mendengar masyarakat', sementara saat pembahasan RUU, yang satu saja, dilakukan secara tertutup dan dipaksakan. Bahkan suasananya mencekam," ungkapnya.

Indikasi dari suasana mencekam ini, menurut Andreas, terlihat dari penjagaan ketat di lokasi pembahasan RUU TNI di Hotel Fairmont, dengan kendaraan tempur yang terparkir di depan hotel. Masyarakat sipil yang melakukan protes juga diusir dari lokasi.

Upaya Pengendalian Perguruan Tinggi

Andreas juga menyoroti adanya pengumpulan rektor di sejumlah daerah oleh kepala daerah dan polisi dalam kerja sama yang diklaim untuk pengamanan. Ia menilai bahwa upaya ini bertujuan untuk mengendalikan perguruan tinggi.

"Mereka (kepala daerah dan polisi) memang punya kewajiban melakukan pengamanan, tetapi menurut saya, caranya salah," ucap Andreas.

Teror Terhadap Jurnalis

Lebih lanjut, Andreas juga mengkhawatirkan teror yang dialami oleh seorang jurnalis Tempo berupa kiriman kepala babi oleh orang tak dikenal setelah pengesahan RUU TNI. Ia menilai bahwa suasana ini akan semakin mencekam.

"Suasana ini akan semakin mencekam, belum lagi ada teror terhadap Tempo. Kalau tidak setuju dengan Tempo, jelaskan dong. Susahnya kalau responsnya liar, tidak dalam satu komando. Itu yang menjadi persoalan. Maksud saya, tidak dalam satu komando, seperti yang di sini demo dihalau, sementara yang di sana tidak. Ini berbahaya, cara-cara khas Orde Baru," tandasnya.