Kementerian Perdagangan Kaji Ulang DMO MinyaKita: Repacker Keluhkan Kekurangan Pasokan

Kementerian Perdagangan Kaji Ulang DMO MinyaKita: Repacker Keluhkan Kekurangan Pasokan

Jakarta, [Tanggal Hari Ini] - Kementerian Perdagangan (Kemendag) berencana untuk mengevaluasi secara komprehensif skema Domestic Market Obligation (DMO) untuk produk MinyaKita. Langkah ini diambil menyusul keluhan dari sejumlah produsen pengemas (repacker) MinyaKita yang terpaksa mengurangi takaran produk mereka akibat tidak memperoleh alokasi minyak DMO yang memadai.

Menteri Perdagangan (Mendag), Budi Santoso, menyampaikan komitmennya untuk meninjau kembali mekanisme DMO MinyaKita dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, Jumat (21/3/2025). "Nanti kami evaluasi lagi ya, kami evaluasi seperti apa bagusnya," ujar Mendag Budi, menekankan perlunya perbaikan dalam sistem yang ada.

Evaluasi yang akan dilakukan Kemendag tidak hanya terbatas pada skema DMO, tetapi juga mencakup seluruh rantai distribusi MinyaKita, mulai dari produsen hingga pengecer. Mendag Budi menjelaskan bahwa pihaknya akan meneliti secara seksama peran repacker, distributor tingkat pertama (D1), distributor tingkat kedua (D2), serta efektivitas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi potensi masalah dan mencari solusi yang optimal.

Keluhan dari para repacker MinyaKita mencuat dalam pertemuan antara Perhimpunan Industri Minyak Makan Nabati Indonesia (Permikindo) dengan Kemendag pada Selasa (18/3/2025). Sekretaris Jenderal Permikindo, Darmaiyanto, mengungkapkan bahwa para repacker yang tergabung dalam asosiasinya tidak pernah menerima pasokan minyak melalui skema DMO. Padahal, MinyaKita seharusnya diproduksi dengan memanfaatkan kontribusi dari pelaku usaha industri turunan kelapa sawit melalui skema DMO.

"Akar persoalan yang ada itu adalah repacker yang tergabung dari asosiasi ini tidak pernah sekalipun mendapatkan minyak DMO. Kalaupun ada yang mendapatkan, harganya sudah tinggi," tegas Darmaiyanto. Kondisi ini memaksa repacker untuk membeli minyak komersial dengan harga yang lebih tinggi, yang pada akhirnya berdampak pada harga jual atau takaran MinyaKita yang mereka produksi.

Darmaiyanto menjelaskan bahwa para repacker menghadapi dilema antara menjaga keberlangsungan produksi dan memenuhi permintaan pasar. Di satu sisi, mereka harus membayar gaji karyawan dan memenuhi target produksi. Di sisi lain, mereka kesulitan mendapatkan pasokan minyak DMO yang seharusnya menjadi bahan baku utama MinyaKita. Akibatnya, mereka terpaksa menggunakan minyak industri yang harganya lebih mahal, dan melakukan penyesuaian takaran untuk menekan biaya produksi.

"Ya maklumlah produksi harus berjalan. Nah, permintaan tinggi, karyawan wajib digaji. Sementara minyak bahan baku DMO-nya tidak ada. Maka yang ada di pasaran itu adalah minyak dengan status industri," papar Darmaiyanto. Ia mengakui bahwa sebagian anggota Permikindo terpaksa menyesuaikan takaran MinyaKita karena kendala pasokan minyak DMO. Namun, ia menegaskan bahwa tindakan tersebut bukan dilandasi niat untuk menipu konsumen, melainkan sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi pasar yang sulit.

Menanggapi keluhan tersebut, Kemendag berjanji untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap skema DMO MinyaKita. Evaluasi ini diharapkan dapat menghasilkan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat, mulai dari produsen, repacker, hingga konsumen.