Pengesahan UU TNI: Gelombang Kontroversi dan Potensi Kembalinya Orde Baru di Bawah Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pengesahan UU TNI Picu Kekhawatiran Akan Bangkitnya Orde Baru

Pengesahan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia menuai kritik tajam dari berbagai kalangan. Andreas Pandiangan, pengamat politik dari Universitas Katolik Soegijapranata (Unika), Semarang, menyatakan bahwa langkah ini berpotensi menjadi titik balik yang mengarah pada kebangkitan kembali era Orde Baru (Orba), mengaburkan esensi reformasi 1998 yang diperjuangkan dengan susah payah.

"Pengesahan UU TNI semakin memperjelas indikasi bahwa rezim Prabowo-Gibran ini bergerak menuju revitalisasi Orde Baru. Kekhawatiran ini semakin menguat seiring dengan berbagai kebijakan dan manuver politik yang dilakukan," ujar Andreas dalam wawancara eksklusif.

Kritik pedas juga ditujukan kepada partai politik, termasuk mereka yang lahir dari semangat reformasi, yang justru memberikan dukungan terhadap pengesahan UU TNI. Menurut Andreas, tindakan ini mengkhianati nilai-nilai reformasi yang bertujuan untuk menghapuskan dwifungsi ABRI dan memisahkan militer dari ranah sipil.

Reformasi Birokrasi Terancam dan Kompetensi ASN Dipertanyakan

Salah satu poin krusial yang disoroti adalah potensi kemunduran reformasi birokrasi. Penghapusan dwifungsi ABRI, yang menjadi salah satu pilar reformasi sejak 1998, kini terancam kehilangan arah. Kehadiran TNI dalam jabatan sipil dianggap sebagai langkah mundur yang meruntuhkan semangat reformasi.

"Semangat reformasi yang kita perjuangkan dengan susah payah kini terancam. Salah satu pilar utama reformasi adalah penghapusan dwifungsi ABRI, yang kini justru diabaikan," tegas Andreas.

Andreas juga mempertanyakan urgensi keterlibatan TNI dalam lembaga atau instansi pemerintah. Menurutnya, Aparatur Sipil Negara (ASN) memiliki kompetensi yang memadai untuk menjalankan tugas di berbagai kementerian. Tidak ada alasan yang kuat untuk melibatkan militer dalam urusan sipil.

"Kita harus bertanya, apa yang kurang dari ASN dalam hal keahlian di kementerian-kementerian? Saya rasa tidak ada kekurangan. ASN kita sudah cukup kompeten," tambahnya.

Kepentingan Politik di Balik Keterlibatan TNI

Berbeda dengan era Orde Baru di mana militer secara aktif berusaha menguasai pemerintahan, Andreas melihat bahwa saat ini justru partai politik yang membuka pintu bagi TNI untuk menduduki jabatan sipil. Langkah ini diduga didorong oleh kepentingan politik tertentu.

"Yang membuka pintu bagi TNI bukan tentaranya sendiri, melainkan partai politik. Mereka melakukan ini karena ada kepentingan yang ingin mereka capai," ungkapnya.

Rezim saat ini dinilai berupaya mengendalikan unit-unit kementerian yang dianggap krusial sesuai dengan kepentingan mereka. Contohnya, keterlibatan militer dalam proyek food estate dan penugasan untuk menyerap beras bagi Bulog dianggap sebagai bagian dari skenario besar untuk menghidupkan kembali semangat Orde Baru.

"Ini adalah bagian dari upaya melengkapi sebuah skenario besar. Semangat sentralisasi dan komando tunggal yang menjadi ciri khas Orde Baru kembali dimunculkan," jelas Andreas.

Proses Legislasi Tertutup dan Kurangnya Partisipasi Publik

Andreas juga mengecam proses pembahasan RUU TNI yang dilakukan secara tertutup dan tergesa-gesa tanpa melibatkan partisipasi publik. DPR RI, sebagai wakil rakyat, dinilai tidak transparan dan akuntabel dalam proses legislasi ini.

"Proses pembahasan RUU ini sangat tertutup dan tergesa-gesa. DPR seharusnya melibatkan partisipasi publik yang lebih luas. Setelah diprotes, malah dijaga dengan alat tempur. Apa yang ditakutkan dari para aktivis? Mereka tidak membawa senjata," kritik Andreas.

Keterlibatan TNI dalam jabatan sipil dinilai sebagai kepentingan elite TNI, bukan untuk kepentingan prajurit secara keseluruhan. Kesejahteraan dan modernisasi persenjataan seharusnya menjadi prioritas utama bagi prajurit.

"Saya rasa ini hanya kepentingan elite. Yang dibutuhkan prajurit adalah kesejahteraan dan persenjataan yang sesuai dengan kemajuan zaman," pungkasnya.

Dampak Jangka Panjang

Pengesahan UU TNI dikhawatirkan akan berdampak pada semakin lebarnya peran militer dalam kehidupan sipil. Hal ini berpotensi mengganggu keseimbangan antara kekuatan sipil dan militer, serta mengancam demokrasi dan supremasi sipil.

UU TNI ini juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Keterlibatan militer dalam jabatan sipil dapat mengganggu profesionalisme ASN dan menciptakan birokrasi yang kurang efisien.

Pengamat politik mengingatkan bahwa pengesahan UU TNI merupakan sebuah langkah mundur yang harus diwaspadai. Masyarakat sipil diharapkan terus mengawasi dan mengkritisi implementasi UU ini, serta memperjuangkan nilai-nilai reformasi dan demokrasi.