Sidang Suap Hakim Surabaya: Ahli Hukum UI Soroti Keabsahan Tangkap Tangan dalam Kasus Ronald Tannur
Polemik Tangkap Tangan dalam Sidang Suap Hakim Heru Hanindyo: Perspektif Ahli Hukum Pidana
Sidang dugaan suap dan gratifikasi yang menjerat Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Heru Hanindyo, terkait vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, memasuki babak baru dengan menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI), Eva Achjani Zulfa. Dalam kesaksiannya, Eva menyoroti konsep tangkap tangan yang menjadi perdebatan dalam kasus ini, khususnya terkait keabsahan prosedur penangkapan terhadap Heru Hanindyo.
Definisi Tangkap Tangan Menurut KUHAP
Eva Achjani Zulfa menjelaskan bahwa konsep tangkap tangan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merujuk pada penangkapan seseorang yang sedang melakukan tindak pidana dengan bukti yang melekat pada dirinya. Penjelasan ini disampaikan untuk menjawab pertanyaan kuasa hukum Heru Hanindyo mengenai ketentuan tangkap tangan dalam proses penegakan hukum.
"Konsep tertangkap tangan itu sederhananya adalah orang yang memang dia sedang melakukan aktivitas tidak pidananya, ada bukti yang melekat pada dirinya, kemudian pada saat yang sama dia ditangkap," tegas Eva dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Jumat (21/3/2025).
Eva mengilustrasikan konsep ini dengan contoh sederhana, seperti kasus pencurian ayam. "Ada maling ayam di kandang ayam, sedang pegang ayam orang, tertangkap oleh masyarakat. Jadi konteksnya tertangkap tangan adalah orang yang memang sedang melakukan aktivitas tindak pidana dan itu dia ketahuan," jelasnya.
Lebih lanjut, Eva menekankan bahwa pelaku yang tertangkap tangan harus segera diserahkan kepada pihak berwajib untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. "Makanya, kemudian ada di KUHAP adalah dia harus dibawa ke pos polisi terdekat untuk dibuatkan berita acara penyerahan kepada penyidik," imbuhnya.
Keberatan Hakim Heru Hanindyo dan Implikasi Hukum
Kasus ini menjadi kompleks karena Heru Hanindyo, salah satu dari tiga hakim PN Surabaya yang didakwa menerima suap sebesar Rp 4,67 miliar, mengajukan nota keberatan. Ia berdalih bahwa penyidik tidak dapat menunjukkan izin dari Ketua Mahkamah Agung (MA) sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 26 Undang-Undang Tentang Peradilan Umum.
Menanggapi hal ini, Eva Achjani Zulfa berpendapat bahwa jika prosedur formil tidak dipenuhi oleh penyidik, maka proses penangkapan tersebut menjadi tidak sah. "Jika sejak awal prosedurnya sudah salah, maka konsekuensi hukumnya semua proses hukum itu tidak sah," tegasnya.
Pasal yang Didakwakan
Dalam kasus ini, Heru Hanindyo didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 Ayat (2) atau Pasal 5 Ayat (2) dan Pasal 12 B juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Daftar Poin-Poin Penting:
- Definisi Tangkap Tangan: Penangkapan pelaku kejahatan saat melakukan tindak pidana dengan bukti yang melekat.
- Contoh Kasus: Maling ayam yang tertangkap saat mencuri ayam di kandang.
- Prosedur Hukum: Pelaku tertangkap tangan harus diserahkan ke polisi untuk diproses.
- Keberatan Hakim Heru: Penyidik tidak dapat menunjukkan izin dari Ketua MA.
- Pendapat Ahli: Prosedur yang salah sejak awal membuat proses hukum tidak sah.
- Pasal Dakwaan: Pasal terkait suap dan gratifikasi dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kasus ini terus bergulir dan menjadi sorotan karena melibatkan pejabat peradilan dan menyentuh isu krusial mengenai prosedur penegakan hukum yang sah. Putusan akhir akan menentukan nasib Hakim Heru Hanindyo dan implikasinya terhadap citra lembaga peradilan.