DPR RI Soroti Dugaan Brutalitas Aparat dalam Aksi Unjuk Rasa RUU TNI: Dialog Lebih Efektif daripada Kekerasan
Anggota DPR RI Mengecam Dugaan Kekerasan Aparat Terhadap Mahasiswa dalam Aksi Penolakan RUU TNI
Jakarta - Gelombang kritik terhadap tindakan represif aparat kepolisian dalam mengamankan aksi demonstrasi penolakan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) terus bergulir. Bonnie Triyana, anggota Komisi X DPR RI, secara tegas mengecam dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat terhadap mahasiswa yang menyampaikan aspirasinya di depan Gedung DPR/MPR RI, Jakarta Pusat, Kamis (21/3/2025).
Menurut Bonnie, tindakan represif aparat, seperti yang terekam dalam video yang beredar di media sosial, sangat disesalkan. Dalam video tersebut, terlihat seorang demonstran dikeroyok oleh sejumlah oknum aparat kepolisian. Bonnie menilai tindakan tersebut tidak proporsional dan melampaui batas kewajaran.
"Saya sangat mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan aparat. Sangat disayangkan, tindakan represif tersebut justru mencederai esensi demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat bagi setiap warga negara," ujar Bonnie kepada awak media, Jumat (21/3/2025).
Lebih lanjut, Bonnie mengingatkan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat sipil memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan aspirasi dan pendapatnya. Demonstrasi merupakan salah satu cara bagi mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan rakyat.
"Mahasiswa adalah agen perubahan. Mereka memiliki peran penting dalam mengawal demokrasi dan pembangunan bangsa. Aspirasi mereka harus didengarkan dan diperhatikan, bukan justru dibungkam dengan kekerasan," tegasnya.
Komisi X DPR RI, yang membidangi urusan pendidikan, pemuda, dan olahraga, mendesak pimpinan Polri untuk memberikan arahan yang jelas kepada seluruh jajaran kepolisian agar mengedepankan pendekatan dialogis dan persuasif dalam menangani aksi demonstrasi. Bonnie menekankan bahwa aparat kepolisian seharusnya mampu mengelola situasi dengan cara yang terukur dan profesional, bukan dengan menggunakan kekerasan.
"Aparat kepolisian harus mampu membedakan antara demonstran yang anarkis dengan demonstran yang menyampaikan aspirasinya secara damai. Jangan sampai tindakan represif aparat justru memicu eskalasi konflik dan merusak citra Polri di mata masyarakat," imbuhnya.
Korban Berjatuhan dalam Aksi Demonstrasi
Seperti diberitakan sebelumnya, aksi demonstrasi menolak pengesahan RUU TNI di depan Gedung DPR/MPR RI pada Kamis (21/3/2025) berakhir ricuh. Tiga mahasiswa Universitas Indonesia (UI) terpaksa dilarikan ke rumah sakit akibat mengalami luka-luka saat aksi tersebut. Muhammad Aidan, Rafi Raditya, dan Ghifari Rizky Pramono menjadi korban dalam bentrokan antara mahasiswa dan aparat kepolisian.
Menurut keterangan Koordinator Bidang Sosial Politik BEM Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Muhammad Bagir Shadr, salah satu korban, Muhammad Aidan, mengalami luka parah di bagian kepala akibat diduga dipukul oleh aparat saat mencoba memasuki area Gedung DPR/MPR RI. Selain mahasiswa, seorang pengemudi ojek online (ojol) yang berada di lokasi kejadian juga menjadi korban pemukulan aparat. Pengemudi ojol tersebut mengalami luka di bagian kepala akibat dipukul dengan pentungan dan ditendang oleh oknum polisi.
Kasus kekerasan yang dialami oleh mahasiswa dan pengemudi ojol tersebut menjadi bukti nyata bahwa aparat kepolisian masih menggunakan pendekatan represif dalam menangani aksi demonstrasi. Hal ini tentu sangat disayangkan dan perlu menjadi perhatian serius bagi pimpinan Polri.
Komisi X DPR RI akan segera memanggil pimpinan Polri untuk meminta klarifikasi terkait dugaan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian dalam aksi demonstrasi RUU TNI. Komisi X juga akan meminta Polri untuk melakukan investigasi secara transparan dan akuntabel terhadap kasus kekerasan tersebut. Pelaku kekerasan harus ditindak tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.
Pentingnya Dialog dan Pendekatan Persuasif
Insiden kekerasan dalam aksi demonstrasi RUU TNI menjadi pengingat bagi semua pihak bahwa dialog dan pendekatan persuasif merupakan cara yang paling efektif untuk menyelesaikan masalah. Kekerasan hanya akan menimbulkan luka dan dendam yang berkepanjangan.
Aparat kepolisian sebagai penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak warga negara, termasuk hak untuk menyampaikan aspirasi dan pendapat. Aparat kepolisian harus mampu mengelola aksi demonstrasi dengan cara yang humanis dan profesional, bukan dengan kekerasan. Dengan mengedepankan dialog dan pendekatan persuasif, diharapkan aksi demonstrasi dapat berjalan dengan aman dan damai, serta aspirasi masyarakat dapat didengarkan dan diperhatikan oleh pemerintah.