Ironi di Karawang: Tanah Jadi Jalan, Warga Tetap Dikejar Pajak

Ironi di Karawang: Tanah Jadi Jalan, Warga Tetap Dikejar Pajak

Karawang, Jawa Barat – Di tengah hiruk pikuk pembangunan infrastruktur, sebuah ironi pahit menghantui Henny Yulianti (60), seorang warga Karawang. Meskipun tanah dan rumahnya telah rata dengan tanah dan menjelma menjadi bagian dari jalan akses Jembatan Batujaya sejak dua dekade lalu, ia masih menerima tagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) setiap tahunnya. Sebuah potret buram dari ketidakadilan dan rumitnya birokrasi.

Henny, dengan nada getir, menunjukkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) tahun 2024 kepada awak media. Lembaran kertas itu menjadi bukti nyata bahwa ia masih tercatat sebagai pemilik lahan yang sebenarnya sudah tidak ada lagi. Dokumen pajak tahun-tahun sebelumnya tak lagi ia simpan, sebuah simbol kepasrahan dan harapan yang pupus akan kejelasan.

"Yang lama enggak saya simpan karena saya pikir sudah dibayarkan, ya sudah. Ini yang baru," ujarnya, Jumat (21/3/2025), mengungkapkan kebingungan dan ketidakberdayaannya.

Kilas Balik Penggusuran dan Janji yang Tak Ditepati

Kisah pilu Henny bermula sekitar tahun 2005-2006. Kala itu, ia mendapat kabar bahwa tanah dan rumahnya akan terdampak proyek pembangunan jalan akses Jembatan Batujaya. Tak lama berselang, surat pemberitahuan dari desa tiba, menandakan dimulainya proses penggusuran.

"Sudah main patok, patok (warna) merah. Enggak lama dipanggil ke desa," kenangnya.

Sebagai seorang ibu tunggal yang membesarkan tiga anak, Henny tentu saja menolak rencana tersebut. Rumah itu adalah satu-satunya tempat berlindung yang ia miliki. Namun, pihak pemerintah bersikeras bahwa lokasi rumahnya adalah titik paling strategis untuk pembangunan jalan.

Dengan berat hati, Henny akhirnya menerima kenyataan pahit tersebut. Ia diminta menandatangani berkas dan kuitansi kosong, sebuah praktik yang lazim terjadi dalam proses pembebasan lahan.

Ganti Rugi Tak Layak dan Janji yang Menguap

Tak hanya kehilangan tempat tinggal, Henny juga merasa diperlakukan tidak adil dalam hal ganti rugi. Ia mengajukan ganti rugi untuk tanah dan bangunan seluas 426 meter persegi sebesar Rp 230.000 per meter. Namun, pemerintah hanya memberikan ganti rugi di bawah Rp 100.000 per meter. Rincian pembayaran pun tak jelas dan dilakukan secara bertahap.

"Dicicil dua kali pembayaran 2006. Saat itu juga dibilang DP," ungkapnya.

Yang lebih ironis, Henny tetap harus membayar pajak atas tanah dan bangunan yang sudah menjadi jalan raya selama 20 tahun terakhir. Sebuah kewajiban yang terasa absurd dan membebani.

"Saya enggak ngerti. Saya bayar saja," tuturnya, menggambarkan kebingungan dan kepasrahannya.

Upaya Hukum yang Buntu

Perkara ini sempat bergulir ke pengadilan, namun dalam ranah pidana, bukan perdata. Henny menjadi saksi dalam kasus yang menjerat pejabat terkait. Namun, sebagai orang awam, ia tak memahami sepenuhnya proses hukum yang berjalan.

"Dulu saya jadi saksi di pengadilan, tetapi waktu perkara pidana yang sama pejabatnya itu terjerat hukum. Ya saya orang awam enggak ngerti, katanya kenapa enggak coba masukin perkara perdata gitu," jelasnya.

Henny, bersama tiga warga lainnya, terus berjuang menuntut penyelesaian dari pemerintah, termasuk soal pembayaran ganti rugi yang dianggap tidak adil. Kini, ia bekerja sebagai pengasuh anak di Bekasi, sementara anak-anaknya tinggal di rumah lain yang ia bangun perlahan berkat bantuan saudara.

Harapan Terakhir pada Pemimpin Daerah

Henny berharap Bupati Karawang dan Gubernur Jawa Barat dapat memberikan perhatian pada kasusnya. Ia memohon keadilan dan pembayaran sisa ganti rugi yang layak. Kisah Henny adalah cerminan dari ketidakadilan yang seringkali terjadi dalam proses pembangunan. Sebuah pengingat bahwa pembangunan infrastruktur seharusnya tidak mengorbankan hak-hak warga negara.

Daftar Tuntutan Henny:

  • Penyelesaian sisa pembayaran ganti rugi yang layak.
  • Pembebasan dari kewajiban membayar PBB atas tanah yang sudah menjadi jalan.
  • Keadilan dan perhatian dari pemerintah daerah.

Kasus Henny Yulianti menjadi simbol perjuangan warga kecil melawan ketidakadilan dan rumitnya birokrasi di Indonesia. Semoga saja, kisah ini dapat membuka mata para pemangku kebijakan dan mendorong perbaikan sistem pembebasan lahan yang lebih adil dan transparan.